Perseteruan antara Indonesia dan Malaysia terus terjadi, perseteruan terjadi khususnya di dalam hal budaya. Perselisihan ini bukan yang pertama kali terjadi. Malaysia selalu dianggap mengklaim dan selalu disusul protes keras masyarakat Indonesia. Berikut ini deretan perselisihan yang menyebabkan rakyat Indonesia merasa Malaysia telah ‘mencuri’ kebudayaan Indonesia, yaitu :
Lagu Rasa Sayange
Malaysia memakai lagu ini dalam kampanye Pariwisata “Malaysia Truly Asia” pada Oktober 2007. Menteri Kebudayaan Pariwisata saat itu, Jero Wacik, pun menegaskan Indonesia punya bukti kuat bahwa Rasa Sayange warisan Maluku. Salah satu buktinya yaitu rekaman milik Lokananta, perusahaan rekaman pada tahun 1958. Bukti lain yaitu datang dari Minoru Endo Music Foundation, yayasan yang pernah mengumpulkan lagu-lagu rakyat yang populer di kawasan Asia. Namun, Malaysia tak menghiraukannya. Menteri Malaysia Bidang Informasi, Komunikasi, dan Kebudayaan, Rais Yatim menilai wajar jika terdapat beberapa aspek budaya yang sama antara Indonesia dan Malaysia karena serumpun.
Barulah pada Februari 2012, tim peneliti dari Bandung Fe Institute merilis hasil riset mereka dan membuktikan lagu Rasa Sayange berada sangat jauh dari cabang pohon lagu-lagu Melayu. Bahkan, tim ini mengembangkan metode fisika mekanika statistic untuk mengeksporasi lagu tradisional Indonesia. Hasil itu lalu dikomposisikan menggunakan pendekatan biologi evolusioner menjadi pohon filomemetika lagu tradisional Indonesia. Lagu Rasa Sayange terbukti sebagai lagu asli Indonesia.
Tari Pendet
Tari khas asal Bali ini muncul dalam iklan ‘Enigmatic Malaysia di Discovery Channel pada pertengahan 2009. Tari pendet selama ini tidak pernah dipatenkan oleh penciptanya, Wayan Rindi, karena kandungan nilai spiritualnya yang luas sehingga ia menganggap tak bisa dimonopoli oleh manusia ataupun bangsa tertentu. Namun, akhirnya Malaysia menggunakan tarian ini sebagai iklan promosi kunjungan wisata yang membuat pemerintah Indonesia melayangkan surat protes. Seniwan kawakan Indonesia, Putu Wijaya juga ikut geram. “Itu sama saja dengan menantang. Ini bukan hanya masalah budaya. Kami tersinggung,” katanya waktu itu. Pemerintah Malaysia akhirnya menyampaikan permohonan maaf. Mereka mengatakan, iklan itu tidak dibuat oleh pemerintah Malaysia, melainkan oleh Discovery Asia Pasific tanpa melibatkan pihak Malaysia.
Batik
Di tahun 2009 juga, kembali terjadi kericuhan saat Batik diklaim sebagai produk Malaysia. Namun, semuanya berakhir dengan pengakuan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organizations (UNESCO) atas batik sebagai warisan budaya Indonesia. Pengakuan Badan PBB itu disambut pengrajin batik Indonesia dengan suka cita.
Angklung
Klaim Malaysia atas angklung dituangkan dalam situs www.malaysiana.pnm.my pada 2010. Dengan jelas disebutkan bahwa angklung salah satu warisan budaya Malaysia. Di situ situ juga dijelaskan tentang bahan dasar angklung, fungsi, dan cara bermainnya. Situs www.musicmall_asia.com bahkan menyatakan angklung berasal dari Kota Johor. Klaim ini membuat budayawan tanah air melakukan upaya bahwa angklung asli Indonesia. Selain itu, pemerintah Indonesia juga mendaftarkan angklung menjadi alat musik warisan dunia ke UNESCO. Ada juga buku Diplomasi Angklung karya Sulhan Syafii dalam mengklaim angklung.
Wayang Kulit dan Gamelan
Kemudian, wayang kulit dan gamelan pun diklaim Malaysia pada 2009, kali ini melalui situs pemerintah mereka warisan.gov.my. Wayang kulit terdaftar dengan nomor PU(A) 85, sedangkan gamelan terdaftar dengan nomor PU(A) 78. Gamelan yang ada di Malaysia sama dengan gamelan yang berasal dari Jawa. Alat-alatnya terdiri dari Gong Agong, Gong Sawokan, Gendang Ibu, Gendang Anak, dan Saron. Indonesia kembali protes, apalagi wayang kulit telah ditetapkan sebagai warisan asli Indonesia UNESCO pada 2004.
Tari Tor-tor dan Gordang Sambilan
Kembali, Minggu (17/6) Malaysia mengklaim kedua tarian ini sebagai warisan budaya mereka. Keriuhan ini terjadi saat Malaysia akan meregistrasi tari Tor-tor dan Gordang Sambilan sebagai peninggalan nasional mereka. Menurut Ramli Abdul Karim Hasibuan, Presiden Persatuan Halak Mandailing Malaysia, mengatakan kedua tarian ini sudah mendarah daging di tengah masyarakat Malaysia. Biasanya dimainkan saat pernikahan dan acara perayaan lainnya. Dimasukkannya Tor-tor ke dalam Warisan Kebangsaan Malaysia, tegasnya, bukan untuk klaim negara, melainkan demi pelestarian agar budaya itu tidak hilang. “Kami tidak mengatakan Tor-tor itu punya kami. Tor-tor itu punya rakyat Mandailing, Sumatera Utara. Dimanapun Anda berada, jika bicara Tor-tor, maka itu milik orang Mandailing,” ujarnya.
Kasus yang banyak membuat kericuhan antara Malaysia dan Indonesia dalam hal kebudayaan ini membuktikan bahwa sudah saatnya para pihak bangkit dan mengklaim warisan budaya apa saja yang ada di Indonesia agar tidak ada lagi perselisihan. Mari, kita lestarikan warisan budaya kita karena itu sangat penting artinya.
Sumber : vivanews by lois horiyanti/jawaban.com