Ancaman perpecahan antar agama dan rusaknya tatanan toleransi bermasyarakat di Indonesia terus terjadi. Penyegelan dan penutupan belasan gereja yang terjadi di Aceh memperlihatkan bahwa ada pihak tidak bertanggungjawab yang menginginkan ketidaktentraman terus terjadi.
"Ini tidak boleh terjadi. Penutupan gereja di Aceh menunjukkan intoleransi, dan ini sangat membahayakan kebhinnekaan. Padahal kekayaan kita adalah kebhinnekaan. Ini justru mengancam persatuan dan kesatuan kita," ujar Politikus Gerindra Martin Hutabarat di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (8/5).
Martin juga meminta kepada pemerintah untuk proaktif menjadi mediator agar persoalan ini cepat terpecahkan dan tidak menyebar. "Bila dilihat Indonesia akan terpecah, mereka akan senang. Dan, negara tetangga tidak senang melihat Indonesia menjadi negara besar. Jadi, pemerintah harus bersikap tegas terhadap para pelaku," katanya.
Belasan gereja yang ditutup tersebut terjadi di Kabupaten Aceh Singkil pada Senin (7/5) lalu. Alasan penyegelan adalah tidak adanya surat izin pendirian gereja/undung-undung (Undung-undung adalah bangunan rumah ibadah sejenis gereja, tetapi bentuk bangunannya lebih kecil dan bahkan sebagian bangunan semipermanen) sebagaimana ditetapkan dalam aturan Menteri Agama dan Peraturan Gubernur sejak tahun 1974. Baru setelah 38 tahun kemudian, penutupan terjadi.
Gejala intoleransi dan tindakan yang tidak mengakomodasi masyarakat baik minoritas maupun mayoritas, memperlihatkan ketiadaan kepemimpinan didalam pemerintahan. Ketiadaan tersebut terjadi ketika pemimpin hanya mengorientasikan jabatan ketimbang rakyatnya.
Sumber : Jaringnews