Sebagai orang tua, peran Anda bukanlah hanya mengajarkan dan mendidik iman Kristen sejak kecil kepada anak-anak Anda, tetapi juga membentuk kemandirian mereka. Ini tidak berarti Anda mengarahkan mereka menjadi seorang yang individualis, tetapi agar mereka dapat hidup berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Pertanyaan sekarang, apa yang perlu diperhatikan untuk membentuk kemandirian tersebut?
C) Mengajar bertanggungjawab
Setelah mengajar anak untuk bijaksana, Anda harus mengajar mereka untuk bertanggungjawab. Bertanggungjawab ini berarti bertanggungjawab atas: segala sesuatu dan segala sesuatu yang mereka telah putuskan.
Pertama, bertanggungjawab atas segala sesuatu. Di titik pertama, Anda harus mengajar anak-anak dari kecil untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang telah mereka perbuat atau katakan. Misalnya, ketika seorang anak kecil tersandung ketika berjalan, biasanya orangtua langsung menyalahkan kursinya yang membuat anaknya tersandung. Itu pendidikan yang salah. Jika ini dilakukan, maka anak dari kecil sudah diajar bahwa dirinya tidak bersalah, tetapi orang lain yang salah. Akhirnya, ketika mereka beranjak remaja, pemuda, bahkan dewasa, mereka akan membangun semangat mencintai diri secara berlebihan dan menganggap diri lebih hebat, pandai, bijak, dll dari orang lain. Jangan salah, orang-orang ini akan sangat sulit ditegur kesalahannya, apalagi disuruh bertobat.
Oleh sebab itu, jika anak Anda salah, misalnya, tersandung, biasakan sebagai orangtua ingatkan dia untuk berhati-hati ketika jalan. Ketika Anda mendidik mereka seperti ini, percayalah, mereka akan memiliki kerendahan hati untuk terus-menerus diingatkan dan ditegur serta mereka memiliki tanggung jawab setelah mereka mengatakan atau melakukan sesuatu.
Kedua, bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah mereka putuskan. Setelah mengajar mereka untuk bijaksana baik dalam mengambil keputusan dan mengelola: waktu, keuangan, dll, Anda harus mengajar anak-anak Anda untuk mempertanggungjawabkannya. Misalnya, setelah anak mereka bijaksana memilih pasangan hidup mereka, mereka harus mempertanggungjawabkan segala risikonya.
Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengutip perkataan ibu beliau yang mengajar kepada anak-anaknya ketika sudah beranjak dewasa bahwa mereka memilih pasangan hidup: lihat sendiri, pilih sendiri, kalau baik: untung sendiri, kalau jahat/tidak baik: rugi sendiri, semua serba sendiri. Ini namanya bertanggungjawab. Jangan sampai setelah kita salah memilih pasangan hidup, kita mengomel, menyalahkan orangtua, apalagi menyalahkan Tuhan. Itu kesalahan kita sendiri yang harus kita pertanggungjawabkan.
D) Melatih anak untuk hidup susah
Hal terakhir yang harus diperhatikan adalah melatih anak untuk hidup susah. Setelah bertanggungjawab, latihlah anak-anak untuk menerima risiko untuk hidup susah sesudahnya entah akibat salah pilih atau hal lain. Menerima risiko ini berarti anak-anak dilatih untuk belajar hidup susah. Buat apa? Bukankah zaman yang serba enak ini menuntut segala sesuatu harus enak? Bahkan khotbah-khotbah di banyak gereja kontemporer yang pop mengajarkan bahwa orang “Kristen” pasti kaya, sukses, sehat, dll? Lagu sekuler pun mengajarkan, “Buat apa susah? Susah itu tiada gunanya.” Konsep inilah yang sering dilakukan oleh banyak orangtua yang kaya kepada anak-anak mereka.
Benarkah konsep bahwa susah tidak ada gunanya? TIDAK! Alkitab mengajarkan bahwa penderitaan, kesusahan, dll (BUKAN karena kesalahan kita) itu berguna untuk mendewasakan iman dan karakter kita. Orang yang tidak pernah mengalami kesusahan tidak akan mengerti hidup.
Memandirikan anak adalah tugas setiap orang tua. Ini bukanlah sebuah pilihan, tetapi keharusan karena Anda adalah penerima otoritas dari Tuhan untuk membesarkan dan mendidik mereka menjadi seperti apa yang Tuhan kehendaki atas mereka.
Sumber : in-christ.net/bm