Uang bukan segalanya namun segalanya butuh uang. Pernyataan itu disampaikan seorang sahabat kepada saya beberapa tahun silam. Sebuah pernyataan yang singkat namun tegas. Namun, benarkah segalanya butuh uang? Perkenankanlah saya mengajukan pertanyaan tersebut kepada Anda. Apakah Anda setuju uang bukan segalanya namun segalanya butuh uang? Jika ya, sebutkan alasannya. Jika tidak, mohon sebutkan juga alasannya.
Fakta menunjukkan bahwa begitu banyak masalah hidup yang jika ditelusuri bisa saja berakar pada masalah kurangnya uang. Mulai dari anak putus sekolah, sakit yang tidak kunjung sembuh-sembuh lantaran tidak memiliki biaya berobat hingga perceraian rumah tangga karena krisis keuangan yang tidak berujung. Tidak heran jika ada yang mengatakan, “Cinta memang diperlukan dalam membangun sebuah rumah tangga namun apakah cinta saja bisa memberi makan istri dan anak-anak?”
Oh, jangan salah sangka dulu. Saya bukan hendak mengatakan uang adalah hal terpenting dalam dalam hidup. Seorang sahabat yang juga penulis terkenal Adi W. Gunawan pernah berkata, “Uang bukan nomor satu dalam hidup. Buktinya kalau tidak ada uang kita setengah mati namun kalau tidak ada oksigen kita pasti mati!” Ada yang kemudian protes dan berkata, kalau ada uang kan bisa dipakai untuk membeli oksigen? Ya, saya rasa itu tidak selalu tepat. Bagaimana jika tidak ada yang menjual oksigen, seperti di pedalaman Papua?
Seorang teman pernah berkata, uang bukan segalanya namun hampir segalanya butuh uang. Ya, hampir segalanya artinya masih ada hal-hal lainnya yang tidak bisa dibeli dengan uang. Salah satunya adalah kesetiaan suami-istri. Sebagai anak broken home saya mengalami sendiri hal ini. Saya menyaksikan bagaimana kehidupan pernikahan kedua orang tua saya harus berakhir karena kasus perselingkuhan.
Uang juga tidak bisa membeli rasa sayang dan rasa hormat anak-anak kepada orang tuanya. Begitu banyak kasus anak-anak yang kemudian menjadi nakal akibat kehilangan rasa hormat kepada orang tuanya. Rumah bagi mereka telah menjadi semacam neraka dunia sehingga mereka mencoba mencari surga dunia di luar sana. Sayangnya, pergaulan yang salah kerap membuat mereka melenceng jauh. Seringkali setelah hal ini terjadi, tidak sedikit orang tua yang menyesali dirinya karena kurang memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak-anaknya.
Lebih dari Sekedar Uang
Beberapa tahun lalu sesaat setelah memberikan seminar untuk sebuah gereja, seorang ibu datang menyalami saya lalu berkata, “Bapak terima kasih atas buku Melangkah Maju di Masa Sulit. Malam itu saya mau bunuh diri namun entah mengapa saya kemudian mengambil buku karangan Bapak itu dan membacanya. Seketika itu saya batalkan niat saya bunuh diri!”
Hal ini sungguh menyentuh hati saya. Saya tidak menduga kalau buku yang saya tulis tahun 2004 itu bisa menyelamatkan satu nyawa. Memang, saya juga pernah mendapatkan beberapa e-mail dengan nada yang hampir sama. Selain itu, saya sudah ratusan respon (melalui e-mail, sms, telpon atau perbincangan langsung) yang menyatakan kalau buku-buku yang saya tulis ternyata bermanfaat.
Jika sampai hari ini dan seterusnya saya terus menulis itu karena saya merasa sungguh menemukan kebermaknaan hidup saya, selain menulis adalah ungkapan rasa syukur saya kepada Tuhan yang telah memberikan saya talenta istimewa ini.
Tanpa bermaksud untuk tinggi hati, royalti bukanlah motivasi utama bagi saya menulis. Ada juga buku saya yang royaltinya saya sumbangkan sepenuhnya kepada sebuah lembaganon-profit. Tidak banyak orang yang tahu bahwa royalti penulis hanyalah sebesar 10 persen dari harga buku sebelum PPN. Itu pun masih dipotong pajak penghasilan sebesar 15 persen.
Sebagai contoh, salah satu buku saya yang berbentuk komik harga jualnya Rp 29.800. Nah, setiap buku yang terjual saya hanya mendapatkan royalti bersih Rp 2.300. Berhubung itu bentuknya komik maka saya harus berbagi dengan yang menggambar komik tersebut. Praktis satu komik yang terjual saya hanya mendapat Rp 1.150. Tentu bukan sebuah angka yang menggiurkan secara finansial namun saya mau melakukan itu. Komik tersebut saya tulis sebagai bekal berharga bagi hidup dan masa depan anak-anak saya tercinta.
Joger, seorang pengusaha kaos terkenal di Bali dengan tegas mengatakan bahwa sejak 1987 bisnisnya bukanlah profit oriented melainkan happiness oriented. “Bukan berarti saya menolak semua profit sebab sebagai perusahaan saya membutuhkan profit. Tapi bukan berarti saya mengorbankan segalanya atau melakukan apa pun demi profit. Bagi saya, kebahagiaan adalah segumpal rasa yang kita rasakan kalau kita sudah melakukan kebaikan secara jujur, ramah, bertanggung jawab, bersyukur dan bermanfaat bagi diri kita sendiri dalam optimal dan seluas-luasnya serta bermanfaat bagi stakeholders dan lingkungan hidup. Happiness oriented dapat diartikan bagaimana kita menjadi kaya, sekaya-kayanya tanpa membuat atau membiarkan orang lain tetap miskin,“ kata pendiri ‘Yayasan’ Garing yang banyak bergerak di bidang sosial kemanusiaan itu.
Sikap Terhadap Uang
Guru kepemimpinan, Dr. John C. Maxwell pernah mengatakan pada dasarnya uang memberikan Anda pilihan yang lebih banyak (money gives you more options). Saya sangat setuju dengan pendapat Maxwell. Ketika Anda memiliki lebih banyak uang, Anda memiliki lebih banyak pilihan. Anda boleh memilih makan siang di mana dan berapa harganya. Bandingkan dengan mereka yang sangat kekurangan uang dan selalu berharap esok mereka masih bisa makan.
Ketika Anda memiliki banyak uang, Anda bisa memilih menyumbangkan sebagian uang Anda itu kepada sesama yang membutuhkan, membangun rumah ibadah, dan seterusnya. Intinya, mereka yang memiliki lebih banyak uang cenderung akan memiliki lebih banyak pilihan dalam hidupnya. Bukankah memiliki pilihan yang lebih banyak juga merupakan sebuah berkat dalam hidup?
Saya akan menutup jumpa kita kali ini dengan sebuah ungkapan yang sangat indah dari Maxwell, “Saya menyarankan orang-orang yang berkelimpahan secara keuangan agar menjadi sungai yang mengalir bukan bak penampungan bagi kekayaan mereka. Tuhan hanya memberikan kepada Anda hal-hal yang Ia tahu akan mengalir melalui hidup Anda.” Bagaimana menurut Anda?
Sumber : blog.pauluswinarto