Saya menghabiskan empat tahun hidup saya sebagai pelajar di Universitas Penn State di State College, Pennsylvania. Saya bekerja sebagai penulis koran di sana, The Daily Collegian, selama kuliah di sana. Dan setiap Sabtu saya bersama ribuan orang lainnya akan menyemangati tim American football Nittany Lions yang dilatih oleh Joe Paterno.
Saya beruntung sekali bisa mewawancara dia saat Penn State memenangkan pertandingan melawan Miami dan ada hadiah dari White House untuk menghormati tim tersebut. Saya tidak pernah lupa bagaimana rendah hatinya dia. Dia selalu terlihat seperti professor dengan kacamatanya, jaket, dan dasi daripada seorang pelatih.
Bahkan jika Anda bukan berada di timnya, Anda bisa belajar dari Paterno. Mereka menunjukkan ketidakegoisan. Sudah jutaan yang dia dan istrinya, Sue donasikan untuk perpustakaan maupun kesenian departemen di sekolah. Pendidikan, katanya, lebih penting daripada memenangkan pertandingan (meskipun banyak pertandingan yang dia menangkan). Dia seseorang yang bisa kita lihat sebagai orang yang berada di sisi yang benar. Dia merupakan figur bapak bagi banyak orang. Melalui inspirasinya, sebuah sekolah sudah berdiri selama 60 tahun.
Lalu, tiba-tiba ada kejadian di bulan November 2011 yang mengirimkan kejutan listrik yang tinggi di universitas itu. Saya merasa begitu kecewa, hati saya patah. Dua minggu kemudian, Paterno diumumkan punya kanker paru-paru. Dua bulan setelah itu, dia mengadakan wawancara terakhirnya. Sepertinya bab terakhir dalam hidupnya akan ditutup. Dia merasa hancur karena kasus-kasus asistennya. Seminggu kemudian, di usia ke-85 dia meninggal. Sekarang ini adalah hari peringatan kematiannya.
Prosesi pemakaman Paterno di saat itu diadakan di stadium kampus dan melalui kota. Ribuan orang datang dari seluruh negeri untuk mengucapkan selamat tinggal kepada JoePa. Kalau dia masih hidup, mungkin dia akan berkata hal itu terlalu heboh. Anda mungkin dapat mendengar aksen Brooklynnya dengan nada tinggi, “Eh, apa yang membuat Anda ingin bertemu saya. Fokus dalam pelajaranmu. Kerjakan pekerjaanmu. Jangan kuatir tentang aku.” Tapi aku pikir, kerumunan itu saling menyembuhkan rasa kehilangan mereka, terjadi rekonsiliasi. Tidak ada seorangpun yang bisa berbuat baik setiap waktu tanpa kesalahan sedikitpun. Dia mengakui telah berbuat kesalahan, bagaimanapun juga dia adalah manusia biasa.
Kita adalah manusia biasa yang tak luput dari kekurangan. Tapi hidup kita haruslah bisa jadi berkat buat orang lain seperti Joe Paterno. Selalu mencerminkan kasih Tuhan Yesus, itulah tujuan utama di dalam hidup kita.
Sumber : guideposts.org/lh3