Setiap anak punya ciri khas masing-masing. Ada kalanya sebagai orangtua kita kewalahan menanganinya. Namun, jangan sampai membuat kita lupa untuk bersyukur dan mendidiknya dengan jalan yang benar, agar kelak nanti dia takut akan Tuhan dan dapat menjadi terang buat sesama.
Salah satu cara untuk mendidik anak adalah dengan memberikan hukuman maupun hadiah. Namun, tidak selamanya anak yang berprestasi selalu diberikan hadiah karena hal tersebut merupakan kewajibannya. Lantas, hal-hal apa yang perlu kita ketahui agar kita dapat memberikan hadiah yang tepat di waktu yang tepat untuk anak? Ini jawabannya.
Cara Berpikir Anak : Konkret dan Abstrak
Apakah memberikan hadiah pada anak saat naik kelas adalah sesuatu yang mendidik? Jika anak-anak masih kecil, TK atau SD mungkin bermanfaat. Sebab di usia itu anak masih berpikir konkret. Mereka merasa disayang saat ada bentuk sayang atau penghargaan yang kelihatan, seperti hadiah. Namun, sesudah anak menginjak remaja dan duduk di SMP, kebiasaan itu harus dikurangi atau malah ditiadakan. Sebab di usia tersebut, anak-anak sudah harus belajar bahwa mendapat nilai yang baik merupakan kewajibannya sebagai seorang pelajar. Andai orangtua memberikan sesuatu, hendaklah itu bukan karena dia naik kelas tetapi karena anak memang membutuhkannya ataupun karena momen penting seperti ulang tahun anak.
Cinta Manipulatif : Kamu Baik, Aku Baik
Tanpa sadar sebagian orangtua selama ini memberikan cinta manipulatif pada anak. Jangan lakukan itu. Cinta manipulatif seperti “Mama sayang kalau kamu mau menjaga adikmu selama mama tidak di rumah.” atau “Papa belikan kamu hadiah kalau kamu rajin belajar.” Pada usia tertentu, ketika anak masih kecil atau anak kita punya kesulitan tertentu misalnya taat pada orangtua, hal ini bisa dipakai. Intinya, saat anak membutuhkan motivasi dari luar. Tapi sebagai orangtua kita perlu mengembangkan dan membiasakan cinta tak bersyarat pada anak.
Ketika anak mendukakan kita oleh suatu peristiwa, sebagai orangtua kita perlu belajar tetap mengasihi dia, selalu memberinya kesempatan kedua. Biasakanlah mengasihi dan berbuat baik pada anak, meski dia gagal sekalipun. “Nak, minggu ini Mama sedih dan kecewa dengan sikapmu pada Mama. Tetapi karena Mama sayang kamu, Mama izinkan kamu pergi dengan temanmu. Tetapi Mama harap kamu perbaiki sikapmu pada Mama…” Cinta seperti ini akan sangat berbekas di hati anak hingga masa dewasanya.
Cinta yang Dewasa : Menerima Anak Apa Adanya
Cinta yang dewasa dan sejati tidak tergantung sikap sang anak. Jika kita mengasihi dan berbuat baik pada anak saat ia bersikap menyenangkan hati saja, itu adalah cinta manipulatif. Apalagi anak remaja, mereka membutuhkan kondisi diterima apa adanya, bukan ada apanya. Jika kita tidak dewasa dalam mengelola emosi cinta kepada anak-anak, maka kita dapat terjebak membedakan anak. Kita bisa jatuh pada situasi lebih sayang pada anak-anak yang manis kelakuannya.
Hal yang terpenting dari itu semua adalah marilah kita mendewasakan emosi sebagai orangtua, belajar mencintai anak tanpa syarat. Kembangkanlah hati yang mengasihi dan menerima anak apa adanya. Itulah kebutuhan anak-anak kita dimana mereka perlu panutan, dukungan, dan tempat bertanya yang tepat.
Sumber : juliantosimanjuntak/lh3