Ragam Perayaan Natal: Pluralisme Di Lereng Merbabu

Internasional / 27 December 2011

Kalangan Sendiri

Ragam Perayaan Natal: Pluralisme Di Lereng Merbabu

Lestari99 Official Writer
3990

Di tengah isu tak sedap seputar isu intoleransi beragama di indonesi, kisah-kisah harmonisme pluralisme di belahan bumi Indonesia tetap menyejukkan hati. Sebut saja salah satunya Dusun Thekelan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Dusun ini berada di lereng utara Gunung Merbabu dengan ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut. Dengan 175 keluarga, warga dusun ini terbagi dalam tiga keyakinan yang berbeda, yakni Budha, Islam dan Kristen. Namun di tempat ini, meriahnya suasana perayaan Natal tidak hanya dihadiri jemaat gereja, tapi juga seluruh warga dusun.

“Warga di sini sudah biasa saling tolong dan menghormati, meski berbeda keyakinan. Karena dari dulu sudah seperti itu dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan,” ujar Lestari, salah seorang jemaat GPDI sebagaimana dilansir Sinar Harapan.

Pendeta Petrus Sukirman juga membenarkan hal tersebut. Di tengah keberagaman keyakinan, pendeta Petrus Sukirman mengakui bahwa pertumbuhan jemaat semata-mata karena kasih karunia Tuhan.

“Sejak saya melayani di sini di tahun 1975, belum pernah ada pertikaian atau permusuhan apapun dengan tema agama karena bagi kami karakter Kristuslah yang harus nyata dalam kehidupan,” ujarnya.

Mayoritas penduduk dusun adalah Budhis, selebihnya Muslim dan Kristen. Tiga tempat ibadah juga berdiri di dusun ini dengan cara gotong royong tanpa membedakan kepentingan agama masing-masing.

Parlan (36), Kepala Dusun Thekelan, menuturkan, “Saya masih ingat saat saya masih remaja, seluruh warga membangun fondasi mesjid dengan cara manual. Karena kondisi desa yang terjal, sebagian warga mengaduk pasir dan semen di ujung jalan, lalu ember adukan itu dikirim secara estafet. Semuanya bekerja, pria maupun wanita, Islam maupun tidak.”

Hal serupa terjadi ketika Wihara Budha Bhumika membutuhkan perbaikan gedung. Demikian juga saat jemaat GPDI membutuhkan bantuan dana untuk melengkapi peralatan ibadah. Di tahun 2006 saat gereja membutuhkan keyboard untuk mengiringi ibadah, secara sukarela seluruh warga dusun melakukan proses ngareng atau membuat arang secara tradisonal. Mereka melakukannya di dalam hutan Gunung Merbabu yang harus ditempuh selama dua jam berjalan kaki.

“Dari pra sampai pascaproduksi arang kami lakukan bersama, termasuk menjaga nyala api dan memadamkannya dengan tertib agar tidak sampai membakar hutan dilakukan dengan cermat oleh seluruh warga dusun,”ujar Parlan.

Sedemikian harmonisnya tatanan sosial yang dipelihara di dusun ini, sehingga perbedaan keyakinan tidak pernah menjadi penghalang dalam interaksi seluruh penduduknya.

“Saat ada warga yang berganti agama, kami juga tidak pernah menganggapnya sebagai ancaman yang serius, karena itu hak paling hakiki dalam kehidupan manusia,” tambah Parlan.

Nilai-nilai seperti inilah yang sebenarnya membuat bangsa kita besar di mata dunia. Dulu, dalam setiap kesempatan, hal yang paling membuat bangsa lain terkagum-kagum kepada rakyat Indonesia adalah keramah-tamahan penduduknya, sikap gotong royong dan toleransi yang tinggi di antara umat beragama, di mana nilai-nilai ini telah meluntur dan menjadi hal yang langka di negeri kita tercinta saat ini. Hanya sekelumit daerah yang masih memegang teguh nilai-nilai ini seperti halnya Dusun Thekelan.

Sumber : sinarharapan
Halaman :
1

Ikuti Kami