Pekerjaannya adalah petani, namun pekerjaan itu sepertinya tidak memberikan manfaat apa-apa padanya. Munadi (60) merupakan buruh tani yang tinggal di Blok Cikuya Rt. 001 Rw.09 tepatnya di belakang kawasan kompleks perkantoran Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, di Desa Sumber, Kecamatan Sumber. Ayah tujuh putra tersebut nyaris kehilangan semua miliknya. Bukan hanya harta, dia juga nyaris kehilangan jiwa raganya.
Pada musim kemarau yang baru saja berlalu, dari 1.5 hektar lahan yang digarap, 0.5 hektar kering. Salah satu penyebabnya karena kekurangan air, padahal pemerintah Kabupaten Cirebon sudah berjanji untuk membangun sumur pompa di atas bukit agar air bisa mengalir di persawahan Blok Cikuya. Sayangnya janji itu tak pernah terwujud.
“Kalau begini, bagaimana hidup petani. Kami sempat lega waktu musim rending (panen pertama) musim hujan. Namun setelah musim gadu (panen kedua), kami harus menderita lagi karena tanaman kering,” kata Munadi. Munadi terbelit utang Rp 2.6 juta yang dipinjamnya untuk modal musim tanam gadu. Hasil kotor yang diterimanya Rp 7 juta. Setelah dipotong modal, penghasilan bersihnya tinggal Rp 4 juta. Eits, jangan salah dulu. Rp 4 juta itu dipotong empat bulan lagi sambil menunggu masa panen. Jadi Munadi sekeluarga harus cukup dengan hidup Rp 500 ribu per bulan.
Meski harus bekerja selama satu musim tanam atau 115 hari, para petani yang bekerja keras dari subuh hingga sore hari itu penghasilannya semakin kecil. Hal ini bisa mempengaruhi pertanian di Indonesia. Jangan sampai tidak ada lagi petani di negara yang dulunya negara agraris ini. Jangan sampai kita kebanyakan mengekspor beras sehingga beras lokal malah susah dijual. Pemerintah dan juga masyarakat yang peduli benar-benar harus memperhatikan hal ini.
Sumber : kompas/lh3