Terbongkarnya kasus pemalsuan nilai Test of English as Foreign Language (TOEFL) 151 mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa) oleh pihak internal kampus, Sabtu (16/7) lalu, sungguh memberikan noda hitam bagi pendidikan di Indonesia.
Salah seorang jurnalis laman berita online, Rani Hardjanti, mengutarakan pandangannya mengenai kasus yang terjadi di Surabaya tersebut.
“Tragedi Unesa ini tentu sangat mengkhawatirkan. Untung saja pihak Unesa cepat bertindak dengan menunda kelulusan mereka dan memberikan waktu mahasiswa selama empat bulan untuk memperbaikinya. Pada kasus ini Unesa sebagai pencetak agent of change, sudah melakukan hal yang benar.”
“Lalu apa yang salah? Jawabannya kesalahan pola pikir, di mana banyak orang ingin meraih tujuan dengan cara yang cepat atau instan. Parahnya, penyakit ini telah mewabah di berbagai strata sosial dan profesi.”
“Kasus Unesa ini hanya sekelumit potret bagaimana penyakit instan menggeregoti pola pikir. Obatnya hanya satu, berani berbuat jujur mulai dari diri sendiri hari ini juga!”
Sementara itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Djoko Santoso mengatakan tindakan pemalsuan yang dilakukan oleh 151 mahasiswa Unesa sudah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat. “Pemalsuan seperti ini sudah bukan pelanggaran ringan melainkan masuk kategori pelanggaran berat,” ujarnya
Oleh karenanya, mantan Rektor ITB ini menyarankan agar para mahasiswa yang menggunakan jasa TOEFL aspal tersebut segera diberikan sanksi. “Tentu saja harus diberikan sanksi karena mereka sudah berlaku tidak jujur. Namun, pengenaan sanksi dikembalikan pada kebijakan dan peraturan kampus,” terang Djoko.
Apa yang dilakukan pihak Unesa harus diancungi jempol. Tidak semua kampus di Indonesia berani melakukannya. Semoga hal yang baik ini dapat ditiru oleh pejabat-pejabat kampus lain sehingga apa yang dicetak oleh institusi pendidikan Indonesia adalah orang-orang yang berintegritas dan memiliki daya saing tinggi.
Sumber : okezone/bm