Ibu Ana adalah seorang penjudi. Pada tahun 1972, di umur 11 tahun, Ana bersama dengan ketiga adiknya telah ditinggal oleh ayahnya yang berpisah dengan ibunya. Seringkali mereka kelaparan karena sang ibu sangat tidak memperhatikan kebutuhan mereka kecuali hobinya akan judi. Ana pun harus meninggalkan bangku sekolah dan hidup terlantar bersama dengan adik-adiknya.
Untuk mengganjal perutnya yang kelaparan, seringkali Ana mencabut pohon singkong yang ada di samping rumahnya. Setelah ia mengambil singkongnya, pohonnya pun ia tanam kembali. Nalurinya sebagai kakak tertua membuat Ana bertekad untuk tidak meninggalkan adik-adiknya.
Pekerjaan ibunya sebagai wanita tunasusila di pelabuhan menjadikan Ana dan adik-adiknya menjadikan tempat itu sebagai rumah kedua. Pada suatu hari, Ana dan adik-adiknya yang sedang bermain dipanggil oleh seorang pria asing. Pria tersebut menyuruh Ana dan adik-adiknya untuk mandi dan memberikan makanan yang enak kepada mereka.
Ana dan adik-adiknya akhirnya diangkat anak oleh orang asing tersebut. Dari hidup yang tidak berkecukupan, hidup Ana kini penuh dengan kemewahan. Namun Ana tidak pernah menyangka bahwa di balik semua pemberian itu, ada udang di balik batu. Ana bersama dengan adik-adiknya tidur bersama dengan pria asing tersebut. Dengan seluruh badan yang ditutupi selimut karena dingin, Ana tidak pernah tahu kalau apa yang dilakukan pria asing tersebut sebenarnya melecehkan dirinya.
Ana sungguh tidak tahu bahwa apa yang dialaminya adalah sebuah malapetaka. Ana terus menikmati kemewahan dari orang asing itu. Sampai sebuah peristiwa terjadi padanya. Saat Ana pergi ke kapal mengunjungi ibunya, Ana berkenalan dengan seorang kru kapal. Mereka saling menyukai dan berfoto bersama. Saat Ana menunjukkan foto itu kepada ayah angkatnya, ayah angkatnya marah dan menyebutnya sebagai wanita yang tidak benar. Dan ayah angkat Ana langsung menghentikan semua fasilitas yang selama ini diberikannya kepada Ana dan adik-adiknya.
Kehidupan yang biasanya tercukupi, harus segera berakhir. Demi bertahan hidup, Ana nekad menjalani profesi sebagai wanita malam. Tanpa adanya latar belakang pendidikan dan tidak memiliki ketrampilan apapun, menjadi pelacur adalah satu-satunya jalan yang dipilih Ana untuk menghasilkan uang. Di pelabuhan yang banyak disinggahi kapal asing, Ana menjalani profesi barunya tersebut.
Uang hasil melacur dipergunakannya untuk kebutuhan hidup sehari-hari termasuk membiayai seluruh anggota keluarganya. Namun ibunya yang masih gemar berjudi sungguh-sungguh menyedihkan hati Ana. Jika tdak diberikan uang, sumpah serapah akan keluar dari mulut ibunya tanpa henti.
‘Kamu belum bisa bayar air susu saya, kamu sudah melawan. Nanti kamu merayap seumur hidup kamu’, merupakan salah satu sumpah serapah ibunya yang selalu terngiang-ngiang di pikiran Ana.
“Kenapa saya harus dilahirkan dengan memiliki ibu seperti ini?” sesal Anda.
Sumpah serapah yang diucapkan sang ibu sangat melukai hati Ana. Semua pengorbanannya seakan sia-sia. Dalam kegalauannya, seorang pria datang menghibur hatinya. Seks di luar nikah pun mereka lakukan. Ana hamil, dan akhirnya mereka menikah.
“Saya berharap melalui pernikahan itu, saya bisa menjadi lebih baik dan dapat membantu adik-adik dan orangtua saya. Tapi ternyata tidak demikian. Sampai suatu kali, ketika susu di rumah habis, saya mendatangi suami saya untuk minta uang. Tapi ternyata apa yang saya terima jauh dari apa yang saya bayangkan. Dengan kasar ia berkata, ‘Kamu kan sudah biasa cari duit sendiri? Pergi aja sana cari usaha sendiri.’ Saat itu hati saya sangat sakit dengan apa yang dikatakannya kepada saya. Malam itu juga saya langsung pergi melacur,” ungkap Ana dengan pedih.
Demi menafkahi keluarganya, Ana rela untuk terus menjalani kehidupannya sebagai wanita malam. Tiga hari setelah melacur, Ana pulang sambil membawa uang dan susu serta baju-baju untuk anaknya. Semenjak saat itu pula, Ana tidak pernah lagi bertemu dengan suaminya.
Selama bertahun-tahun Anda menjalani kehidupan seperti itu. Hingga tiga anak telah lahir dari rahimnya. Meskipun banyak tetangga yang mencibirnya, Ana tetap tidak mempedulikannya. Yang penting bagi Ana hanyalah ia dapat memberi makan anak-anaknya dan membantu keluarganya.
Kalau dengan orang asing, uang yang didapatkannya lebih banyak dan ia juga tidak diperlakukan seperti pelacur. Setelah mereka pergi, tak jarang mereka tetap mengirimkan uang. Karena hal ini, Ana lebih cenderung melayani orang asing.
Meskipun Ana telah bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, namun perilaku sang ibu tidak juga berubah. Ibunya tetap berjudi dan menghambur-hamburkan uang sementara adik-adik Ana kelaparan dan hidup susah.
Putus asa dengan keadaan hidupnya, Ana siap melakukan tindakan nekad. Ia mencoba untuk bunuh diri. Saat nyawanya sedang berada di ujung tanduk, tiba-tiba Ana sadar akan tindakannya itu. Ia segera berlari ke dapur dan memakan sebanyak mungkin bawang merah untuk menetralisir racun serangga yang diminumnya. Sampai akhirnya ia muntah dan tak seorangpun di rumahnya yang tahu akan apa yang telah dilakukannya.
Luput dari maut tidak membuat Ana bersyukur atas kesempatan hidup kedua yang diperolehnya. Ana tetap hidup dalam kehampaan yang mendalam. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk berhenti melacur. Namun ibunya seringkali memaksanya untuk tetap melacur agar bisa hidup enak. Namun Ana selalu menolak meskipun konsekuensinya ia bersama dengan anak-anaknya harus hidup susah.
Demi meninggalkan profesinya, Ana bekerja di pelabuhan sebagai pemulung agar dapat menghidupi anak dan keluarganya. Ia mencari karung-karung beras yang sobek sehingga berasnya berhamburan dan ia diizinkan untuk menyapunya. Namun ternyata di sana, sudah ada yang menunggunya. Salah satu pelanggan asingnya yang sudah beberapa hari meminta Ana untuk melacur, namun tetap ditolaknya. Dan di malam itu ia diperkosa oleh pelanggan dan orang-orang suruhan pelanggannya.
“Ya, memang sakit dan saya dendam. Tapi saya berpikir mungkin inilah yang harus saya terima karena memang sebelumnya saya sudah melacur. Tapi saya benar-benar merasa sedih, ketka saya ingin berhenti, malah ini yang harus saya terima,” ujar Ana dengan sedih.
Sungguh malang nasibnya. Namun Ana tetap bertekad untuk tidak kembali ke jalan yang kelam. Ana mencoba berjualan kopi dan mie di pelabuhan. Awalnya ia tidak diizinkan, namun berkat bantuan orang dalam, ia pun dapat memulai usahanya. Namun bantuan itu ternyata tidaklah tulus. Orang yang membantunya meminta imbalan agar Ana menjadi istri keduanya. Jika ia tidak mau, lapak yang diberikannya kepada Ana untuk berjualan akan diambilnya kembali. Kembali Ana tidak tahu harus berbuat apa.
Dalam kegalauannya, Ana hanya bisa pasrah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Dalam tidurnya, ia bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat bagaimana pria ini mengajaknya naik ke perahu. Namun saat mereka telah berada di tengah, pria ini tiba-tiba melompat dan kembali ke darat. Ana ditinggalkan sendirian di perahu dan ia melihat orang-orang dengan rupa yang sangat buruk mencoba untuk menangkapnya. Saat ituah Ana berteriak agar Tuhan Yesus menolongnya. Dan di dalam mimpinya, Ana merasakan bagaimana tangan Tuhan menolongnya dan mengembalikannya ke darat dengan selamat.
Ana sadar Tuhan telah memperingatkannya dari kesempatan yang hampir ia ambil. Ana akhirnya menolak mentah-mentah kesempatan yang ditawarkan kepadanya oleh pria itu. Setelah peristiwa itu, Ana seperti memiliki kekuatan yang baru untuk menghadapi dunia yang keras ini.
“Setelah saya rajin beribadah, saya mulai merasakan ketenangan. Saya tidak lagi merasa kuatir akan apa yang mau saya makan besok, apa yang mau saya minum, apa yang mau saya pakai, semua kekuatiran itu tidak ada lagi,” ungkap Ana.
Ana berhasil bebas total dari dunia prostitusi yang pernah ia jalani selama lima belas tahun. Kini ia bahagia dengan kehidupan barunya.
“Yang membuat saya mengampuni orangtua saya karena saya mendapatkan pengampunan dari Tuhan. Sebenarnya saya tidak pantas untuk diampuni, saya pantas dihukum. Tidak ada lagi yang bisa saya lakukan kecuali memberikan pujian saya, sembah saya, rasa terima kasih saya hanya kepada Tuhan. Tuhan benar-benar dahsyat buat saya,” ujar Ana menutup kesaksiannya.
Seringkali kita berpikir ketika harga diri kita rusak atau hancur, maka harga diri itu akan rusak selamanya. Ibarat nasi yang sudah menjadi bubur, sudah terlanjur dan tidak bisa diubah lagi. Apakah benar demikian? Ketika kita melakukan perbuatan dosa, hati kecil kita tidak dapat dibohongi. Rasanya kita ingin berhenti tapi iblis membisikkan tipuannya kepada kita dan ia berkata, “Sudahlah, sudah terlanjur rusak, rusaklah sekalian.” Bahkan iblis menanamkan dalam pikiran kita bahwa harga diri kita sudah tidak ada nilainya sama sekali di hadapan Tuhan.
Jika Anda meremas-remas uang kertas senilai 100 ribu rupiah sampai lecek dan tidak berbentuk lagi, nilainya tetap 100 ribu rupiah. Demikian juga dengan hidup kita di hadapan Tuhan. Sekalipun hidup kita sudah rusak karena dosa, tapi kita tetap berharga di mata Tuhan. Jangan pernah menyerah terhadap dosa dan jangan termakan tipuan iblis. Iblis selalu berusaha untuk menghalangi kita keluar dari dosa. Tapi Tuhan selalu mengingatkan kita dan memberikan jalan untuk kita keluar dari dosa. Yesus kristus telah berkorban di kayu salib. Dia telah mengambil alih hukuman yang seharusnya ditimpakan kepada kita sehingga oleh karena pengorbanan Yesus, setiap kita yang percaya kepada-Nya tidak binasa tetapi memperoleh jaminan hidup yang kekal.
Sekotor apapun hidup Anda, Yesus tetap mau menerima Anda karena Anda berharga di mata-Nya. Dan Dia sanggup memulihkan harga diri Anda yang telah rusak untuk menjadi utuh kembali.
Sumber Kesaksian: Ana Adriana