Koptik Mesir termasuk salah satu komunitas Kristen tertua di dunia. Rasul Markus mendirikan sebuah gereja di kota Aleksandria hanya 10 tahun setelah kenaikan Yesus.
Namun hari ini banyak orang Kristen Mesir yang sedang mempertimbangkan untuk meninggalkan negara tersebut karena mereka kuatir Islam radikal telah membajak revolusi demokrasi bangsa.
Jatuhnya Presiden Mesir Hosni Mubarak baru-baru ini telah membawa harapan dan kesempatan bagi orang-orang yang sudah lama tertindas di bawah seorang diktator yang tidak populer beserta bawahannya.
Kristen Koptik bergabung dengan kaum Muslim melakukan protes di Tahrir Square, namun sejauh ini kebebasan yang mereka inginkan tetap sukar dipahami dan komunitas Kristen minoritas berada di bawah pengepungan.
Paul Marshall, anggota senior Hudson Institute, mengatakan sebenarnya jumlah serangan terhadap Kristen Koptik telah meningkat semenjak Mubarak mengundurkan diri.
“Hal ini menyebabkan banyak orang Kristen Koptik kuatir dan bertanya-tanya, ‘Apakah ini pertanda dari masa depan?’” jelas Marshall.
Sejauh ini, tahun 2011 merupakan tahun yang tragis bagi orang Kristen Mesir. Pada Tahun Baru bom bunuh diri mengerikan terjadi di gereja St. Markus, Aleksandria.
Penjaga keamanan Magdy Wahib berada di pintu masuk gereja saat kebaktian selesai sesaat setelah tengah malam.
“Saya tiba-tiba menemukan diri saya terlempar dari dalam gereja,” kenang Wahib. “Saya tidak kehilangan kesadaran, namun saya merasa sakit parah di perut, tangan dan pinggang.”
Wahib dibawa ke sebuah rumah sakit dimana dokter bedah mengeluarkan sepotong pecahan peluru hampir tujuh inci panjangnya dari perutnya bersamaan dengan 30 inci dari ususnya.
Wahib termasuk di antara 100 orang Kristen yang cedera dalam serangan itu. Dua puluh tiga orang lainnya tewas.
Orang Kristen di St. Markus dan gereja-gereja lain bertekad untuk memperjuangkan masa depan yang baru di Mesir. Mereka tahu bahwa darah para martir merupakan benih gereja dan akan terus bertahan.
Kristen Koptik mengatakan mereka tidak diperlakukan sama meskipun mereka merupakan mayoritas di Mesir selama lebih dari 1.000 tahun. Hari ini, orang Kristen hanya terdiri 13 persen dari populasi sementara 86 persen orang Mesir adalah Muslim.
Orang Kristen jarang mendapatkan izin pemerintah untuk membangun gereja-gereja baru. Anggota sebuah gereja di Giza, sebuah kota dekat Kairo, mengatakan kepada CBN News mereka berhasil memperoleh izin membangun gereja setelah melakukan pertempuran yang panjang selama 10 tahun.
Pada bulan November 2010, polisi keamanan mengepung gedung mereka yang baru dibangun sebagian. Dua orang Kristen tewas sementara 20 lainnya menjadi buta dalam serangan tersebut.
Sopir taksi Naseer Fakhry Bakheet saat ini tidak memiliki pekerjaan karena ia kehilangan penglihatan pada mata kirinya setelah terkena peluru karet.
“Para polisi masuk ke dalam gereja dan menghina serta memukuli kami seolah-olah kami adalah penjahat,” ujarnya. “Mereka meneriakkan slogan mereka, dan bersikap seolah-olah kami bukanlah manusia. Seolah-olah kami bukanlah manusia, hanya binatang yang tidak memiliki hak. Seolah-olah kami bukanlah orang Mesir.”
Polisi dan militan Muslim bukanlah satu-satunya yang menyerang Kristen Koptik. Sebuah gelombang serangan baru berasal dari tentara Mesir.
Sebuah video amatir yang diberikan kepada CBN News menunjukkan serangan militer terhadap sebuah biara di dekat Aleksandria pada bulan Januari.
Setelah polisi setempat meninggalkan kantor mereka, para biarawan di St. Bishoy membangun dinding di pintu masuk biara untuk melindungi diri dari penyusup. Tentara menanggapi hal ini dengan mengirimkan 100 tentara dengan tank dan artileri ringan untuk menghancurkan dinding.
Tiga orang terluka, termasuk seorang biarawan yang hatrus kehilangan limpanya akibat serangan itu.
“Militer seharusnya melindungi kami, bukannya memukul dan menyiksa kami,” ujar Pastor Halmanout, seorang imam di biara. “Kami tidak bersalah. Kami berdoa dan mencoba untuk membantu orang, itulah yang kami lakukan.”
Orang Kristen Mesir mengatakan insiden tersebut hanyalah merupakan contoh mengapa mereka membutuhkan perlindungan dari pemerintah baru. Namun Ikhwanul Muslimin – kelompok politik terkuat di Mesir saat ini – menegaskan bahwa hukum syariat Islam akan tetap merupakan dasar dari masyarakat Mesir.
Kelompok ini juga menentang perubahan demokratis dalam konstitusi yang akan memberikan hak yang sama dan memungkinkan orang Kristen dan wanita Muslim menjadi presiden.
Advokat hak asasi manusia Monir Bishara menghabiskan sebagian besar waktu luangnya di Facebook berbagi ide-ide demokrasi dengan kaum muda. Ia mengatakan banyak orang Mesir beragama, namun tidak akan mendukung pemerintahan teokratis seperti yang terjadi di Iran.
“Ikhwanul Muslimin bicara tentang demokrasi, namun di dalam diri mereka sendiri – jika mereka mengambil alih kekuasaan – hal itu akan menjadi pemilihan demokrasi terakhir dan pemerintahan akan kembal menjadi diktator,” jelas Bishara.
Marshall merasa PBB dan Departemen Luar Negeri AS sangatlah naif dan terlalu optimis pada Ikhwanul Muslimin.
“Mereka berkata, ‘Yah, generasi yang lebih muda di Ikhwanul mungkin jauh lebih terbuka’,” ujarnya. “Saya pikir itu benar, namun mereka yang berumur 23 tahun tidak menjalankan Ikhwanul.”
Marshall menambahkan bahwa pengalaman Hamas di Gaza sekilas merupakan masa depan Mesir di bawah Ikhwanul Muslimin.
“Hamas asalah Ikhwanul Muslimin dari Palestina. Mereka memenangkan pemilihan. Dan tidak ada pemilu lagi semenjak itu, dan mereka membunuh kaum oposisi Palestina,” ujarnya.
Itulah sebabnya banyak Koptik Kristen mungkin akan meninggalkan Mesir. Mereka kuatir akan apa yang akan datang. Namun, banyak orang seperti Pastor Halmanout yang akan tetap tinggal apapun yang terjadi.
“Kami percaya kepada Tuhan dan kami tidak takut,” ujar Halmanout. “Yesus berkata kepada kita bahwa orang akan menentang kita menggunakan tangan dan kekuatan manusia, namun kita memiliki tangan Tuhan. Pribadi yang akan melindungi dan menyelamatkan kita.”
Sumber : cbn.com