Kita banyak mendengar bagaimana sikap positif masyarakat Jepang dalam menghadapi bencana. Mereka satu-satunya bangsa yang tidak menjarah pada saat terjadi bencana alam. Mereka mengembalikan apa yang bukan menjadi milik mereka jika mereka menemukannya. Mereka hidup disiplin dan tidak mementingkan diri sendiri. Tapi sayangnya, mereka tidak mencintai diri mereka sendiri.
Sudah sebulan lalu, sejak gempa dan tsunami memporak-porandakan sebagian wilayah Jepang, Jepang dilanda krisis baru. Naoko Sugimoto gundah gulana. “Apa yang bisa kulakukan?” kata perempuan berumur 67 tahun ini. Bukan soal korban tewas atau hilang yang dia pikirkan, bukan juga soal makanan yang terbatas. Dia gundah karena orang-orang yang terpukul jiwanya karena suami, istri, anak, kakak, adik, atau orangtua mereka belum ditemukan juga ataupun juga tewas akibat musibah terburuk di Negeri Matahari Terbit itu.
Mereka yang merasa kehilangan ini, nekat melakukan bunuh diri atau yang biasa disebut dengan harakiri di Jepang. Adapun menurut Sugimoto, yang juga Direktur Izoku Shien, lembaga konseling nasional yang giat menentang aksi bunuh diri, banyak korban bencana yang sudah mulai kehilangan akal. “Buat apalagi saya hidup?” ujarnya mengutip sejumlah korban bencana yang depresi.
Menurut Sugimoto, sejak krisis keuangan yang melanda kawasan Asia pada tahun 1997, jumlah orang yang memilih hara-kiri mencapai 30 ribu jiwa pada tahun lalu. “Setiap 15 menit ada satu orang yang bunuh diri,” ujarnya. Rata-rata usianya yaitu 20-44 tahun untuk laki-laki dan 15-34 untuk perempuan. Bulan Maret lalu adalah puncak paling banyak orang yang melakukan bunuh diri. Hal ini dikarenakan pada bulan tersebut adalah masa berakhirnya tahun fiscal negeri yang berpopulasi 127 jiwa itu.
Belum lama ini dia mendengar ada seorang petani yang bunuh diri hanya karena tanaman kubisnya terpapar zat radioaktif dari PLTN Fukushima Daiichi, yang salah satu reaktornya terbakar. Ada seorang pekerja di PLTN yang stress karena kelelahan. Ada juga seorang ayah yang memilih mati karena tidak kunjung menemukan anaknya yang hilang. Banyak lagi kisah sedih lainnya dimana mereka menghabiskan hidup mereka dengan sia-sia. Tuhan, berikan mereka kekuatan rohani agar mereka mampu bertahan menghadapi cobaan dan bertumbuh, bukannya malah bunuh diri.
Sumber : tempointeraktif/lh3