Karena kekesalan yang membuncah, Hendry Soelistyo mencari jalan keluar. Pria 41 tahun ini sudah menempuh berbagai alternatif rute seperti tol dalam kota, tol Kebun Jeruk, Kemanggisan, sampai lewat Senayan dan Simprug, namun untuk mencapai rumahnya yang terletak di Puri Kembangan, yang berjarak kurang dari 15 kilometer, butuh hampir dua jam. “Padahal kalau lancar, cuma butuh sekitar 45 menit,” katanya.
Kemudian pakar komputer lulusan University of Manitoba, Kanada ini berembuk dengan rekannya untuk menciptakan teknologi yang bisa memantau kemacetan. Dia yakin kemacetan bertambah parah akibat minimnya informasi. Pengguna jalan pasti mencari jalur lain jika tahu jalur yang akan dilaluinya padat. Karena dia sendiri memiliki perusahaan peranti lunak, tentu mudah baginya untuk menemukan orang yang bisa menyokong idenya, yaitu memantau kepadatan lalu lintas lewat kamera televisi sirkuit dekat atau CCTV.
Dia memborong kamera untuk ditempatkan di 25 titik kemacetan Jakarta seperti Jalan Gatot Subroto, Simpang Pancoran, Kemayoran, dan tol Kebun Jeruk. Titik terakhir merupakan pesanan khusus untuknya. “Soalnya saya biasa pulang lewat situ,” ujar Hendry sambil tersenyum. Bukan perkara mudah untuk bisa memasang kamera tersebut. Hendry harus bolak-balik meyakinkan pemilik gedung yang memiliki pemandangan strategis agar bisa ditumpangi tanpa bayar. “Kalau pasang di luar, sebentar langsung dicolong,” ujarnya. Maklum harga satu kamera mungil itu sekitar Rp 2.2 juta. Imbal baliknya, pemilik gedung mendapat banner dan tautan yang ditempatkan di bawah tampilan kamera.
Tangkapan kamera-kamera itu ditayangkan di situs LewatMana.com yang bulan lalu menyabet Netexplorateur Award di Paris, Perancis. Untuk menghemat jalur koneksi, video streaming diganti foto yang dijepret tiap 30 detik. Ini jadi keunggulan ketimbang situs pemantau kemacetan lain. Pengguna bisa melihat kondisi jalan yang akan dilalui secara langsung dan actual. “Karena gambar tidak mungkin bohong,” kata Hendry.
Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menang di ajang yang sudah berlangsung empat kali itu. “Tidak ada hadiah dana, tapi bangga karena dikenal secara internasional,” kata Hendry. Hendry mengaku layanannya masih jauh dari sempurna. “Kamera tidak menjangkau semua titik,” katanya. Sekarang dia hanya punya 75 kamera padahal dia butuh 400 agar kamera bisa mengintip semua simpul kemacetan Jakarta. Namun dia terus berusaha.
Ke depan, dia akan menambah informasi berupa kecepatan rata-rata kendaraan di suatu ruas jalan. Fitur ini didapat dengan menyambungkan Global Positioning System di mobil ke server. Terlepas dari segala kekurangannya, Indonesia bangga ada anak bangsa yang peduli terhadap lingkungan sekitar khususnya kemacetan di ibukota negara.
Sumber : tempointeraktif/lh3