Kemacetan lalu lintas di Jakarta telah menghabiskan biaya lebih dari Rp 27 triliun per tahunnya. Hitungan itu dikemukakan oleh Sutanto Soehodo, Deputi Gubernur DKI Bidang Transportasi, dalam diskusi Problematika dan Solusi Efektif Mengatasi Kemacetan di Jakarta di Hotel Acacia, Selasa (22/3). “Biaya itu meliputi biaya operasional kendaraan sebesar Rp 17.2 triliun dan pemborosan bahan bakar minyak senilai Rp 10 triliun,” kata Sutanto.
Dalam kesempatan itu, Sutanto menekankan kembali perlunya pola transportasi makro untuk membangun angkutan umum massal di Jakarta. Dia menunjuk konsep BRT (Busway Rapid Transit), LRT (Light Rail Transit), MRT (Mass Rapid Transit), maupun water way. Sayangnya, menurut Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) DKI Jakarta, Tri Tjahyono, tidak semua konsep tersebut bisa diterapkan di Jakarta. Penerapan MRT membutuhkan biaya hingga Rp 1 miliar tiap satu kilometer, bahkan BRT yang diwujudkan dalam pembangunan busway belum bisa sepenuhnya diterapkan di Jakarta.
Konsep yang tepat untuk saat ini menurut Tri adalah TOD (Transit Oriented Development) yang mendekatkan masyarakat di berbagai pelosok dengan berbagai fasilitas di Jakarta lewat pembangunan angkutan umum. “Harapannya ke depan angkutan umum itu gratis. Bisa dimulai pada jalur-jalur tertentu.” kata Tri.
Tentunya, pemerintah harus memikirkan masalah ini dengan serius. Kemacetan tidak hanya terjadi di Jakarta, di sejumlah kota besar di Indonesia pun hal ini menjadi wacana yang harus diselesaikan. Pemerintah bisa mencontoh negara lain dimana penduduknya dengan nyaman dapat menggunakan angkutan umum tanpa harus takut kotor ataupun takut pencuri. Budaya penggunaan angkutan umum tanpa metode yang baik, takkan membuat masyarakat ingin berpartisipasi menggunakannya.
Sumber : tempointeraktif/lh3