Berbagai orang memiliki berbagai macam definisi mengenai apa yang membuat pernikahan menjadi sehat. Menentukan standar individu termasuk bagaimana pentingnya seks dalam pernikahan datang dari sejumlah keyakinan pribadi bahkan dari sisi rohani. Misalnya saja, dalam Yudaisme Ortodoks, akan dianggap sebagai mitzvah untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya di hari Sabat, asalkan wanita tidak mengalami niddah. Keyakinan lain menunjukkan kasih sayang yang kurang lebih sama bahwa cinta itu Kudus dan Benar sementara yang lain mengklaim hubungan seksual sebagai salah satu jenis “rahasia kotor”. Namun, hanya sedikit dari kita yang mendiktekan kehidupan seks kita melalui peraturan agama, dan dengan demikian faktor terpenting lebih ditentukan oleh keyakinan pribadi.
Sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa pria percaya seks jauh lebih p[enting di dalam pernikahan dibandingkan wanita. Jajak pendapat terbaru menunjukkan meskipun ada petunjuk kebenaran dari hal ini, yang paling penting adalah kedua belah pihak memiliki minat yang sama terhadap seksual, sebagian besar. Sangatlah mustahil bagi dua orang, khususnya dari jenis kelamin yang berbeda, untuk sepenuhnya setuju pada isu-isu seks pada waktu tertentu. Selama siklus hormonal kedua belah pihak terus berjalan, ada kemungkinan ketertarikan seksual salah satu pihak meningkat maupun menurun. Ini artinya, saat salah satu pihak mungkin sedang berada di puncak, pihak yang lain sedang tidak berminat sama sekali, dan saat siklus pasangan ini melalui hormonal string mereka, mereka pun terkadang bertemu di tengah-tengah.
Pria telah diajarkan bahwa kecakapan seksual adalah dukungan yang positif, sementara wanita telah diajarkan bahwa kecakapan seksual membuat mereka tampak seperti perempuan jalang dan tidak menarik. Sikap-sikap masyarakat ini dapat mempengaruhi frekuensi dan pentingnya seks dalam pernikahan. Wanita seringkali merasa dipaksa untuk melakukan hubungan seks lebih sering dari frekuensi yang sebenarnya membuat mereka nyaman sedangkan pria seringkali merasa diremehkan ketika hasrat kronis mereka diabaikan. Gesekan seksual seperti ini menyebabkan banyak perasaan sakit hati, dan membuat banyak orang yang mempertanyakan seberapa pentingnya seks dalam pernikahan. Beberapa pasangan menemukan bahwa bagian terberat untuk hidup bersama adalah belajar untuk memahami kebutuhan seksual satu sama lain, keingin satu sama lain dan disfungsi yang dialami salah satu pihak. Dan kita semua memiliki sejenis disfungsi seksual. Sangat tidak biasa bagi banyak pasangan untuk membawa kehidupan seks mereka kepada konselor. Wanita telah dipersiapkan untuk menggunakan seks sebagai senjata, untuk menahannya ketika keadaan tidak berjalan dengan baik untuk mereka dan “menyerah” ketika pasangannya “memaksa”. Pria telah diajarkan untuk mengharapkan jumlah tertentu dari melakukan hubungan seks, dan sangat tidak biasa baginya untuk mengekspresikan ketakutannya yang tidak memadai dengan menanyakan, “Jika kamu tidak melakukannya dengan saya, lalu dengan siapa kamu akan melakukannya?”
Kebanyakan pasangan dapat melalui kesalahpahaman dan frustrasi seksual yang mereka alami dengan belajar berkomunikasi apa yang penting bagi mereka dan apa yang berhasil untuk mereka serta perasaan apa yang tidak dapat ditoleransi dan apa alasannya. Wanita mungkin lebih membutuhkan kasih sayang fisik daripada pria yang hanya melakukanya sedikit atau tidak ada hubungannya sama sekali dengan seks. Terkadang wanita hanya perlu disentuh tanpa bermaksud adanya kontak seksual. Sementara pria benar-benar membutuhkan kontak seksual seperti ini, dan sangat jarang bagi seorang pria untuk mengakui hal ini secara terbuka, karena sebagian besar anak laki-laki dipersiapkan oleh ayah mereka pada usia muda untuk tidak terlalu banyak meminta, tidak cengeng, dan tidak berlari ke sosok ibu saat mereka jatuh dan butuh sesuatu yang membuat mereka nyaman. Pria yang menemukan dirinya berada dalam sebuah hubungan dengan melakukan banyak kontak fisik namun tidak mengarah pada seks mungkin akan membuat mereka bingung, seolah-olah istrinya mengirim pesan yang dicampur-aduk. Dan wanita tentu saja menginginkan keintiman tanpa memiliki harapan harus melakukan seks setiap saat. Diskusi sederhana dan harapan yang diperjelas dapat membantu memberantas perasaan yang dapat membahayakan pernikahan ini.
Seks sebenarnya merupakan bagian dari pernikahan yang sehat. Banyak pasangan akhirnya jatuh ke dalam tempat yang nyaman, dimana seks tidak lagi memainkan peranan yang penting dalam hidup mereka. Namun beberapa pasangan mampu mempertahankan kehidupan seks mereka tetap berjalan dengan baik di usia keenam puluh maupun tujuh puluh tahun hidup mereka. Ekspresi seksual merupakan sebuah pengalaman yang melekat dan jelas menyenangkan bagi kebanyakan orang. Ini adalah bagian dari hidup dan mencintai serta bertumbuh bersama. Kurangnya kesadaran ini mungkin menjadi sinyal masalah, terutama jika pasangan telah bersama kurang dari lima tahun dan salah satu pihak benar-benar merasa tidak puas dengan pengaturan kehidupan seks mereka saat ini.
Tidak ada rumus kunci yang dapat menentukan seberapa sering seks harus dilakukan untuk menunjukkan sehatnya sebuah pernikahan. Seks untuk alasan yang salah bukanlah seks yang sehat, namun menjadi pengalihan dari masalah lain. Terlalu jarang melakukan seks bisa menjadi masalah sementara maupun permanen bagi sebuah pernikahan. Jadi, seberapa penting seks dalam sebuah pernikahan? Sama pentingnya dengan setiap individu yang terlibat di dalam pernikahan. Frekuensi tidaklah sepenting kualitas, dan frekuensi tidak dapat mengindikasikan bahwa pernikahan itu sehat. Penerimaan, komunikasi dan komitmen mencintai yang kuat merupakan tanda dari sebuah pernikahan sehat.
Sumber : professorshouse.com