Ketika membuat janji pernikahan di altar, apakah pasangan telah benar-benar mengetahui tantangan kehidupan seperti apa yang mungkin harus mereka hadapi? Di akhir tahun ini, mari kita kembali merenungkan janji setia yang pernah kita ucapkan dahulu di hadapan Tuhan.
Sumpah pernikahan menjanjikan cinta abadi untuk terus bersama dalam segala keadaan – saat sehat, saat sakit, dalam sukacita, dalam kesedihan, saat baik maupun buruk. Namun apa yang terjadi ketika sakit penyakit yang menimpa salah satu maupun kedua pasangan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan suami istri?
Penyakit mempengaruhi hubungan fisik maupun emosional di antara pasangan suami istri. Hubungan emosional melalui saat-saat terburuk; dinamika hubungan berubah ketika kedua pasangan bergumul menjalani keadaan yang berubah drastis, dan mencoba untuk mengatasi hilangnya mimpi akan hidup sempurna yang sejatinya akan dilalui bersama-sama.
Empat Tahapan Proses Berduka
Lenyapnya mimpi indah harus ditangani dengan cara yang sama sebagaimana kehilangan hal lainnya, yaitu dengan melalui semua tahapan dalam proses berduka, yakni: penolakan, kemarahan, masa berkabung dan melanjutkan hidup.
Melakukan hal ini tidak hanya penting bagi pasangan yang sedang sakit tapi juga bagi pasangan yang kini harus berperan sebagai pengasuh.
Seringnya, proses ini dapat ditangani dengan lebih baik dan berhasil sukses dengan bantuan seorang konselor. Tentu saja keinginan untuk berpindah dari korban keadaan menjadi survivor sangatlah penting.
Ketidak-sesuaian Dalam Menjalani Tahapan Berduka
Hubungan akan menjadi sengsara jika pasangan yang menjadi pasien dan pasangan yang menjadi pengasuh tidak berhasil melalui proses berduka mereka secara pribadi. Namun meskipun mereka berhasil melaluinya, mungkin saja ada masa-masa naik dan turun dalam hubungan ketika pasangan yang menjadi pasien dan pasangan yang menjadi pengasuh berada pada tahapan yang berbeda dalam proses yang mereka jalani secara pribadi.
Si sakit mungkin sedang berada dalam tahap marah dan sang pengasuh mungkin tertinggal dalam prosesnya dan sedang berusaha melalui fase penyangkalan. Atau si sakit mungkin berada pada masa berkabung dan sang pengasuh telah melewatinya dan telah menerima hubungan dalam situasi yang baru ini.
Di saat seperti itu, kedua belah pihak sedang berada dalam tahapan yang berbeda dari proses berduka mereka dan melihat situasi secara berbeda. Di sinilah para konselor memainkan peranan penting: menolonmg kedua belah pihak mengatasi situasi yang mereka hadapi dan memahami kerangka acuan pasangannya.
Beberapa Contoh Kasus Yang Ada
Jamila dan suaminya merupakan salah satu contoh klasik dari masalah ini. Jamila menderita psoriatic arthritius – penyakit kulit yang membuatnya tampak jelek ditambah dengan anggota badan yang sakit. Hal ini membuat Jamila minder dan jarang bepergian. Sebagai seorang wanita aktif yang ambisius, rasa minder dan keterbatasannya untuk bergerak membuatnya marah. Suaminya sedang berada dalam tahap penyangkalan akan dampak serius dari penyakit ini.
Ia menganggap ringan penyakit yang diderita istrinya dan bersikeras bahwa ia akan selalu menemani istrinya ke acara-acara soaial, yang justru dihindari Jamila. Seperti yang dapat Anda bayangkan, tingkat konflik di antara mereka sangat tinggi dan tidak satupun dari mereka yang dapat mengelola emosinya maupun menangani saat berduka mereka dengan tepat, atau berusaha untuk menjalani cara hidup yang baru dengan situasi yang mereka hadapi saat ini.
Shobha adalah contoh lainnya. Ia adalah seorang wanita atletis dan gemar bersenang-senang namun harus terus terbaring di tempat tidur karena cedera tulang belakang. Ia memiliki impian akan sebuah kehidupan yang penuh dengan petualangan bersama dengan suaminya, yang juga mengepalai sebuah lembaga pendakian gunung. Keadaannya yang harus terus berbaring di tempat tidur membuatnya depresi. Suaminya, setelah menyelesaikan proses berduka yang dialaminya, memutuskan untuk kembali mendaki gunung. Shobha merasa hancur melihat suaminya pulih dari kesedihan dengan sangat cepat, karena ia sendiri belum dapat berdamai dengan situasi yang dihadapinya. Hal ini menciptakan ketegangan di antara pasangan suami istri ini setiap kali sang suami kembali dari ekspedisinya.
Dampak Tahap Ketidak-sesuaian Terhadap Hubungan
Dalam kasus tertentu, si sakit dan pasangan yang menjadi pengasuh berusaha sendiri tanpa bantuan maupun intervensi dari pihak luar. Tak seorangpun yang membantu mereka untuk memahami apa yang sedang mereka alami.
Dalam situasi seperti itu, masalah dalam hubungan seringkali menjadi berlipat ganda dan dapat mempengaruhi pasangan, anak-anak, keluarga besar bahkan sampai ke tempat kerja. Hal ini hanya menciptakan lebih banyak stres, kegelisahan, kemarahan, depresi dan perasaan bersalah seiring dengan meningkatnya masalah.
Misalnya saja jika si sakit berada dalam tahap penyangkalan dan menolak pengobatan; atau jika ia berada dalam posisi berkabung, sering melamun dan tertekan. Pada titik ini, jika pasangan yang mengasuh bereaksi dengan amarah, pasangan yang menderita sakit mungkin akan merasa bersalah karena telah membuat pasangannya marah.
Pasangan yang menjadi pengasuh mungkin mengarahkan amarahnya kepada dirinya sendiri saat mengekspresikan hal itu. Ia mungkin harus mencemaskan dampak dari kemarahan itu terhadap pasangannya yang sedang sakit dan mengalami depresi karena tidak tahu bagaimana harus menghadapi situasi yang ia hadapi.
Rasa bersalah dan marah pada diri sendiri sering mengakibatkan pasangan yang berperan sebagai pengasuh merasa marah kepada pasangannya yang sakit karena telah menempatkannya dalam posisi genting. Pengasuh yang demikian akan terjebak dalam lingkaran setan yang berisi amarah dan perasaan bersalah.
Di sisi lain jika pasangan yang sedang sakit merasa tertekan dengan penyakitnya dan melihat bahwa dirinya tidak dapat menjadi partner yang pantas bagi pasangannya, ia hanya akan menjadi semakin depresi. Hasilnya, persahabatan di antara pasangan inipun terenggut dan mereka kehilangan kebersamaan mereka sebagai pasangan yang saling memiliki. Namun hal ini tidak akan terjadi jika si sakit berupaya dengan lebih baik untuk menerima penyakitnya dan menangani depresi yang mengiringi penyakit tersebut.
Selain memiliki emosi sekunder akan bagaimana meresponi emosinya sendiri, masing-masing pasangan seringkali memanfaatkan pasangannya untuk dijadikan sarung tinju agar dapat mengatasi emosinya sendiri. Hal ini semakin memperuncing ketegangan yang ada di antara mereka.
Sebuah Contoh Dari Efek Ketidak-sesuaian
Salah satu klien kami, Kavita, menderita gangguan depresif manik namun menolak untuk meminum obat fase manik-nya. Hal ini membuat suaminya marah dan secara kasar mengatakan kepada Kavita bagaimana ia telah merusak hidupnya dan kehidupan keluarga mereka. Segera setelah itu, suaminya akan merasa bersalah dan memukuli dirinya sendiri karena cemas akan kerusakan yang mungkin disebabkannya melalui kata-kata itu terhadap jiwa Kavita. Namun tak lama kemudian suaminya akan kembali marah kepada Kavita dan kembali menyalahkan Kavita untuk keadaan emosional kompleks yang dialaminya, dan kemarahan ini akan terus meningkat dalam setiap kejadian.
Dukungan Sangat Penting Bagi Kedua Belah Pihak
Hal penting yang perlu dicatat adalah setiap kali ada penyakit yang menimpa salah satu pasangan, fokuskan perhatian pada si sakit, karena ia adalah penderita yang perlu didukung dan dihibur.
Meskipun hal itu benar, namun sama pentingnya untuk memberikan dukungan kepada pasangan yang harus berperan sebagai pengasuh, yang kehilangan mimpi dan harapan indah dalam hubungannya dan berusaha keras untuk mendukung dan memberikan kekuatan kepada pasangannya yang sedang sakit. Kedua belah pihak perlu dibantu untuk berdamai dengan kenyataan yang berubah, dan membangun kembali keseimbangan baru yang memiliki beberapa kemiripan dengan kondisi normal.
Kesimpulan
Sakit penyakit jika tidak ditangani dengan sensitif dan empati dapat meninggalkan luka yang berbekas selamanya dalam suatu hubungan. Namun dengan dukungan dan bantuan konseling, kedua belah pihak dapat menemukan keseimbangan baru baik dengan diri mereka sendiri maupun dengan orang lain. Mereka dapat menghadapi tantangan dengan solidaritas yang dapat mengembalikan kehidupan di dalam sumpah pernikahan mereka: “di waktu sehat maupun sakit, dalam suka maupun duka, di saat baik maupun buruk, sampai maut memisahkan kita”.
Sumber : completewellbeing.com