Bulan Agustus 2008, hanya dalam waktu 48 jam saja, dua berita besar berhasil mengguncang dunia kekristenan. Seorang penginjil besar asal Georgia Amerika Serikat, dianiaya oleh suaminya sendiri yang juga adalah seorang pendeta. Sementara berita utama keduanya adalah bercerainya pasangan hamba Tuhan asal Tampa, Florida yang menggembalakan puluhan ribu jemaat.
Meski tengah didera kasus perceraian, pasangan-pasangan bermasalah ini memutuskan untuk tetap melanjutkan pelayanan mereka meskipun semua orang masih tergoncang dengan apa yang tengah terjadi. Mereka melayani seolah-olah tidak ada hal aneh yang baru saja terjadi. Namun yang sebenarnya adalah, sesuatu memang telah terjadi!
Reaksi dari jemaat yang merasa dikhianati tentu saja merupakan akibat yang pasti terjadi. Pemikiran seperti, “Jika orang-orang yang katanya diurapi seperti mereka bisa melakukan perceraian, maka itu berarti saya yang bukan siapa-siapa juga bisa berbuat hal serupa” menjadi bermunculan. Dan bagai efek domino, banyak pasangan ‘biasa’ yang bercerai menyebutkan beberapa nama hamba Tuhan – yang juga bercerai – untuk membenarkan tindakan mereka.
Pernikahan di dalam konsep kekristenan memiliki nilai kesucian yang sangat tinggi. Namun demikian banyak gereja yang mengizinkan perceraian terjadi dengan dua alasan besar, yaitu jika salah satu pasangan kedapatan berzinah dengan orang lain dan kematian. Dan penggunaan ayat-ayat Alkitab untuk membenarkan sebuah gugatan perceraian semakin memperburuk hal ini.
Ketenaran, popularitas serta ‘selebriti rohani’ dipercaya menjadi penyebab berakhirnya pernikahan para pemimpin Kristen. Alasan lain yang mengemuka adalah konflik kepentingan yang muncul jika suami atau istri memiliki posisi yang tinggi dalam pelayanan mereka. Ambisi yang membabi buta dapat memporak-porandakan sebuah pernikahan. Ada beberapa orang yang saking sibuknya melayani, mengejar ambisi mereka, sampai-sampai tidak memiliki waktu untuk istri, suami dan anak-anak mereka. Keseimbangan antara pernikahan dan pelayanan sangatlah penting dalam hal ini.
Tuntutan yang dibebankan gereja tak jarang menjadi penyebab hancurnya pernikahan para hamba Tuhan. Dalam banyak gereja, sang gembala menjadi manusia super yang harus bertemu setiap orang, menguburkan setiap jemaat yang meninggal, menikahkan setiap pasangan, mengurusi kaum muda, memperhatikan para manula, sementara istrinya harus berlaku seperti seekor kupu-kupu gereja yang terbang kesana-kemari karena melayani panggilan jemaat yang harus konsultasi.
Rekonsiliasi dipercaya menjadi satu-satunya solusi bagi setiap pasangan yang sedang menghadapi badai rumah tangga. Selain itu, para hamba Tuhan harus memiliki sahabat-sahabat yang bisa saling menjaga satu sama lain sebagai bentuk pertanggung-jawaban karakter.
Gereja bertanggung jawab untuk mengajar dan memelihara sebuah lembaga pernikahan. Gereja harus memastikan bahwa dosa perceraian dijelaskan secara lengkap kepada para pasangan yang bermasalah. Kemudian para pasangan ini diberikan periode waktu untuk dipulihkan. Setelah itu, ada baiknya bagi para pasangan ini untuk menenangkan diri serta pikiran mereka sebelumn akhirnya mempertanggung-jawabkan apa yang terjadi di hadapan para jemaat.
Selalu tersedia harapan bagi pernikahan yang sedang berada di dalam masalah. Dan untuk meminimalisasi hal ini, sangat penting untuk mulai mengajarkan hal ini kepada anak-anak muda. Jika gereja lokal mengerjakan bagiannya dalam mengajar kaum muda mengenai pernikahan serta keluarga, hal ini akan menjadi solusi yang sangat membantu.
Sangat penting bagi para hamba Tuhan untuk tetap memiliki waktu di malam hari buat istri dan anak-anak mereka. Gereja tidak membangun jemaat yang berisi manusia-manusia yang kelelahan, letih dan lesu akibat terlalu lama diterpa badai pernikahan. Sebaliknya, gereja harus membangun sebuah jemaat yang didasari oleh fondasi-fondasi pernikahan yang solid.
Jangan menyerah adalah kata kunci bagi setiap Anda yang sedang bergumul dengan masalah pernikahan, karena pengharapan dan jalan keluar selalu tersedia bagi Anda.
Sumber : Charisma