Di rumah, Simon Kristian adalah seorang yang pendiam dan penurut. Apapun yang diperintahkan oleh kedua orangtuanya, tak pernah ditolaknya. Bahkan untuk menyiram bunga di halaman, mencuci piring, menyapu dan membereskan rumah pun dilakukannya. Suatu sikap yang terpuji untuk ukuran remaja laki-laki yang sedang beranjak dewasa seperti Simon.
Namun siapa mengira, di balik keluguan dan sikap manis Simon, tersimpan tabiat yang menyesatkan. Simon terlibat dalam penjualan ganja. Pergaulannya membuat Simon mengenal begitu banyak orang. Sampai suatu ajakan yang menurutnya merupakan sebuah kesempatan yang bagus, Simon pun bergabung dengan sebuah grup musik aliran black metal. Nama kelompok itu adalah "Keparat", karena orang-orang yang bergabung di dalamnya adalah orang-orang yang sedikit ‘aneh'. Mereka melakukan banyak ritual, membawa sesajen, membawa kelinci atau ular, mengundang roh-roh untuk mencengkeram mereka agar mereka dapat menghasilkan musik yang bagus dan ‘wah'.
"Mainnya itu bukan hanya sekedar main band biasa, tapi kita menjadi semacam grup band pemberontak yang tidak mau dikekang. Karena memang bukan kita saja yang main, tapi ada suatu sosok yang tidak kita sadari itu masuk di dalam kita, ikut main di dalam kita," kisah Simon.
Di bawah pengaruh iblis, Simon memukulkan kepalanya di atas drum dan juga simbal.
"Tanpa sadar, aku bermain sampai kepalaku berdarah. Ada bekasnya...," ujar Simon sambil menunjukkan bekas luka di keningnya. "Aku rasanya pengen... pengen gimana yah... rasanya cuman pengen mati saja," lanjut Simon.
Kekosongan jiwa dan kebutuhannya akan sebuah pengakuan, membuat Simon terus terjerumus. Tak sedikitpun rasa puas dirasakannya di dalam hati, sampai akhirnya Simon memutuskan untuk bergabung dengan sebuah geng motor. Di sana, ia harus melalui pengujian untuk menunjukkan seberapa beraninya ia di jalanan, ngebut naik motor tanpa rem.
Hanya demi sebuah pengakuan, Simon rela melakukan hal-hal yang membahayakan jiwanya. Balapan demi balapan dilakoninya, tanpa menyadari pintu maut yang terbuka lebar menanti jiwa Simon yang kosong.
"Aku nabrak pohon... Di situ orangtuaku tidak tahu, sedikitpun tidak tahu mengenai kecelakaan yang aku alami, karena aku hanya balik ke rumah seminggu sekali," kisah Simon.
"Saya sebenarnya tidak pernah tahu kalau anak saya itu ikut black metal, kebandelan dia juga saya tidak tahu. Di rumah itu dia selalu menjadi anak yang baik. Pendiam, baik, membantu orangtua," ujar ibu Simon.
"Sebenarnya aku merasa rendah diri di rumah. Di rumah itu, aku hanya dianggap sebagai pesuruh," lanjut Simon.
Kemunafikan dan kebrutalan terus dilakoninya. Sampai suatu peristiwa tragis dialaminya dalam sebuah tawuran antar sekolah.
"Aku terpelanting, kesandung batu. Ketika aku jatuh, pedang itu pas...! di sekitar dadaku. Pertolongan Tuhan terjadi. Aku melihat, dengan mata kepalaku sendiri, tangan Tuhan menadahkan pedang yang saat itu akan menembus dadaku. Akhirnya di situ aku bangkit, aku lari... aku lari sekencang-kencangnya. Aku mencari... semacam ruangan kosong, aku minta ampun. Aku bersujud... benar-benar bersujud sama Tuhan. Aku bilang, ‘Tuhan, aku tidak bakalan lagi seperti ini. Aku mohon ampun Tuhan. Aku mohon ampun, aku mau berubah. Aku mau berubah Tuhan, aku mau berubah.' Di situ aku mulai benar-benar bertobat. Aku meninggalkan masa laluku. Aku bilang, ‘Tuhan, ini terakhir kalinya, ini terakhir kalinya aku melakukan kesalahan, melakukan pelanggaran. Tuhan, terima aku apa adanya, terima sampah ini Tuhan, aku minta ampun Tuhan kepada Engkau. Engkau Allah yang mulia, Engkau Allah yang dahsyat, Engkau Allah yang ajaib.' Di situ aku mulai benar-benar bertobat. Aku meninggalkan masa laluku. Aku meninggalkan hidupku yang lama. Di situlah, aku mulai berubah," kisah Simon sambil meneteskan air matanya dengan penuh haru mengingat kebaikan Tuhan dalam hidupnya.
Simon memutuskan untuk melupakan dan meninggalkan semua masa lalunya. Seiring berjalannya waktu, meskipun ragu, Simon akhirnya mengakui semua kebohongan dan kemunafikannya selama ini kepada kedua orangtuanya.
"Lebih susah memang untuk terbuka sama mereka. Aku takut mereka tidak mau menerima aku. Tapi akhirnya aku terbuka. Aku bilang kepada mereka, ‘Ma, aku dulunya brengsek. Aku dulunya kacau,'" kisah Simon.
"Kebetulan, waktu itu anak saya cerita pas tahun baru. Saya masih bersyukur karena anak saya tidak jadi mati. Saya bersyukur anak saya boleh bertobat. Saya tidak perlu marah," ujar ibu Simon.
"Sekarang ini saya sungguh bahagia, mengucap syukur kepada Tuhan karena Tuhan sudah merubah anak saya, sudah menunjukkan jalan yang benar," ujar ayah Simon dengan binar wajah berbahagia.
"Yesus itu sangat luar biasa. Dia sanggup menolong, Dia sanggup mengubah, sanggup melakukan segala sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin," tambah ibu Simon.
"Tanpa Tuhan, aku ini sampah. Tanpa Tuhan, aku ini tidak ada apa-apanya. Tuhan itu adalah kemerdekaan yang sejati," ujar Simon menutup kesaksiannya. (Kisah ini sudah ditayangkan 8 November 2010 dalam acara Solusi Life di O"Channel).
Sumber Kesaksian:Simon Kristian Sumber : V090112163149