Kepada setiap warga yang masih bertahan dan tinggal di di sekitar lereng Gunung Merapi, Pemerintah melalui Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengatakan, penjemputan paksa warga yang mbalelo itu dimungkinkan. "Penjemputan paksa dimungkinkan," kata Menko Kesra Agung Laksono di Jakarta, Jumat (5/11).
Menurut dia, untuk alasan kebaikan maka penjemputan warga secara paksa bisa saja dilakukan untuk meminimalisir korban letusan Merapi. "Bagi warga yang tidak mau menuruti ketentuan jarak aman maka penjemputan paksa bisa saja dilakukan. Saya rasa tidak akan menjadi masalah karena ini demi keselamatan dan kebaikan bersama," kata Agung.
Agung mengatakan masih ada warga lereng Gunung Merapi yang bertahan di rumahnya dan tidak mau mengungsi. "Padahal, pemerintah telah meningkatkan jarak aman dari 15 kilometer menjadi 20 kilometer dari puncak Gunung Merapi," katanya.
Hingga pukul 15.45, jumlah korban tewas akibat letusan Gunung Merapi sudah mencapai 64 orang. Semua korban tewas saat ini masih berada di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta. Umumnya, korban yang terkena awan panas atau wedhus gembel tersebut berada pada jarak 8 km dari puncak Gunung Merapi.
BNPB mengumumkan, peringatan zona aman yang tadinya berada di radius 15 kilometer ditingkatkan menjadi 20 kilometer. Warga yang berada di radius 15 kilometer diminta segera meninggalkan lokasi dan mencari tempat yang lebih aman.
Mungkin yang harus dipertegas adalah pelaksanaan teknis dari “jemput paksa legal” itu sendiri. Seperti yang sudah-sudah, instruksi dari Pemerintah, kadang diterjemahkan agak berlebihan oleh para aparat dilapangan, sehingga membuat pelaksanaan jemput paksa itu terkesan kasar dan asal jalankan perintah. Tentu kenyamanan rakyat perlu diperhatikan, apalagi terhadap warga di lereng Merapi yang sudah turun temurun hidup disana.
Sumber : Berbagai sumber/dpt