“‘Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kau sembunyikan wajah-Mu terhadap aku?’ Oh Tuhan, perkataan dari Mazmur 13 ini menghantui keberadaan saya yang sesunguhnya. Saya tahu secara alkitabiah Engkau bersama dengan saya, namun tangisan hati ini jauh lebih besar daripada pemahaman alkitabiah saya. Tuhan, saya benar-benar merasa terisolasi dan sendirian.”
Perkataan ini tertulis dalam jurnal saya selama tahun pertama saya menempuh pendidikan pasca sarjana di Scotland. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga dan teman-teman, saya tiba di sebuah tempat dimana tidak ada seorangpun yang saya kenal. Saya meninggalkan pekerjaan yang saya cintai dan meninggalkan kenyamanan tinggal di Amerika dan menggantinya dengan asrama yang sebagian besar dihuni oleh mahasiswa. Saya tak dapat menghilangkan perasaan kosong dan terisolasi yang saya rasakan meskipun saya sudah menyibukkan diri dengan belajar. Rasa bangga karena berhasil kuliah di kampus terkenal di luar negeri segera lenyap tanpa bekas. Sebaliknya, saya merasakan kekosongan yang sangat besar dan merindukan keintiman.
Kesepian ini semakin diperparah dengan kenyataan yang ada bahwa hampir semua siswa yang menempuh pendidikan pasca sarjana ini telah menikah. Dukungan dan keintiman yang dirasakan mereka yang telah menikah tidak hadir dalam hidup saya. Dengan berjalannya waktu, kesepian saya berkembang menjadi kepahitan dan kecemburuan.
Dibandingkan dengan waktu saya di Aberdeen, kesepian yang saya rasakan jauh lebih ringan dan lebih jarang dari saat ini. Saya masih bisa mengalihkan kesepian ini dalam kesibukan. Saya tenggelam dalam jam kerja yang panjang untuk keluar dari kerinduan jiwa saya. Daripada mendefinisikan keberadaan saya dengan membayangkan pernikahan dan anak-anak, saya lebih memilih untuk memanfaatkan kesempatan dan berprestasi.
Keengganan mengelilingi pengungkapan saya karena saya telah bertumbuh dalam penerimaan diri untuk menjadi seorang lajang. Bahkan saat ini saya menghargai kesendirian saya. Saya bebas untuk berpikir, bersantai dan bebas menghabiskan waktu untuk menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar saya. Namun hal ini terkadang tidak dapat menyangkal kesepian yang telah menjadi masalah dalam hidup saya dan pada saat itu rasa kesepian pun akan kembali menyerang. Saya merasa sangat penting untuk membagikan hal ini karena saya tahu banyak kaum lajang di luar sana yang merasakan penderitaan yang sama. Sebuah email yang saya terima baru-baru ini memperkuat keyakinan ini. Seorang lajang mengaku, “Saya bergumul dengan kesendirian saya karena saya tidak suka sendirian. Saya sangat menginginkan untuk memiliki hubungan yang dekat dengan seseorang. Saya ingin mengetahui bahwa seseorang percaya kepada saya dan tertarik kepada saya.” Perasaan seperti itu seringkali bergema di dalam hati para lajang dari waktu ke waktu.
Kesepian telah didefinisikan sebagai “kondisi mental kronis yang menyedihkan dimana seorang individu merasa terasing atau ditolak oleh rekan-rekannya dan lapar akan keintiman emosional yang ditemukan di dalam sebuah hubungan dan aktivitas bersama”. Seringkali pengalaman subyektif ini berasal dari perubahan dalam situasi hidup; kehilangan pasangan akibat kematian maupun perceraian, atau terjadinya cacat. Bagi banyak lajang, kemungkinan untuk menjadi tua tanpa memiliki seseorang tempat berbagi seringkali menimbulkan ketakutan yang mendalam; kebanyakan dari mereka yang menikah memiliki anak dan cucu yang bisa dan akan merawat mereka.
Alasan lain yang mungkin mendasari perasaan kesepian adalah ketiadaan pasangan yang pada akhirnya tidak dapat menyalurkan keintiman fisik dan emosional. Apapun kasusnya, kesepian akan menghasilkan rasa terisolasi, ketakutan, depresi, kurangnya harga diri, kekosongan, bahkan kemarahan dan kepahitan. Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti telah menunjukkan bahwa kesepian dapat mengubah fungsi jantung, mengganggu pola tidur, menyebabkan tekanan darah tinggi, dan berkurangnya kemampuan untuk melawan penyaklit.
Yeremia: Sebuah Teladan Yang Sempurna
Tidak ada tokoh Alkitab yang memiliki lebih banyak alasan untuk merasakan kesepian dibanding Yeremia. Ia berasal dari sebuah keluarga imam yang telah lama digulingkan dari kerajaan maupun keagamaan. Selain berasal dari keturunan yang memalukan itu, Yeremia dipanggil saat lahir untuk melayani sebagai nabi selama peristiwa yang paling dahsyat dalam sejarah Yahudi. Bernubuat dari tahun ketiga belas pemerintahan Yosia (627 BC) sampai tak lama setelah kejatuhan Yerusalem pada tahun 587 BC. 40 tahun pelayanan Yeremia ditandai dengan perlawanan untuk membungkamnya dengan cara menangkap, menyidang, memukul, memenjara bahkan dengan mencoba membunuh (lihat Yeremia 26:19-19; 36:26; 37:11-38:6). Sepanjang kitab ini, Yeremia meratap kepada Allah dan bahkan disebut sebagai hakim kaum oposisi (lihat Yeremia 11:19-20, 20:10-12) dan meraih gelar “nabi ratapan” (lihat Yeremia 9:1; 13:17; 14:17).
Sementara orang-orang mengejek pesan yang disampaikannya dengan cara yang sangat ekstrim, pengorbanan pribadi nabi ini jauh lebih besar daripada kemarahan publik. Pengalaman hidupnya dijadikan contoh untuk mencerminkan wahyu Allah kepada orang-orang Yehuda. Misalnya saja, wewenang kenabiannya termasuk perintah untuk hidup sebagai seorang lajang. Tuhan telah memerintahkan Yeremia, “Janganlah mengambil isteri dan janganlah mempunyai anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan di tempat ini.” (Yeremia 16:2) seperti yang diungkapkan oleh salah seorang sarjana Alkitab, “Pernikahan Hosea begitu mengejutkan (Hos 1:2), tetapi tidak pernah terdengar. Gelar sarjana Yeremia bagaimanapun juga merupakan hal yang tidak biasa di anatra orang Yahudi karena Perjanjian Lama tidak memiliki padanan kata untuk sarjana, dan itu pasti memperkuat keraguan orang banyak tentang Yeremia.” Terence Fretheim, dalam komentar terbarunya mengenai buku Yeremia, menambahkan, “Mengingat pentingnya anak-anak dalam budaya tersebut, larangan ini tentu saja sangat mengejutkan untuk kedua nabi maupun orang banyak.” Dan masalah semakin kompleks karena Yeremia juga menahan diri untuk tidak menghadiri acara-acara sosial seperti pemakaman dan pernikahan (Yer 16:5-9). Hidupnya dipakai untuk memenuhi peran kenabiannya.
Yeremia bertahan tanpa memiliki pasangan dan keluarga, menghapus semua acara sosial, dan berprofesi sebagai nabi tanpa pamrih dan hina – sebagaimana beberapa orang di dunia ini memiliki segudang alasan untuk merasa kesepian. Lalu bagaimana ‘nabi kesepian’ ini dapat terus melanjutkan hidup, apalagi terus taat kepada Tuhan? Syukurlah, kitab Yeremia memberikan kilasan yang indah akan kehidupan orang kudus di zaman Perjanjian Lama. Sementara nabi ini bergumul dengan kehidupan, kecemasan dalam pikirannya, dan ketakutannya, Yeremia menunjukkan 5 cara untuk bertahan dan terus tinggal dalam kesendirian.
Apa sajakah ke-5 cara yang ditunjukkan oleh Yeremia? Tunggu kelanjutannya. (bersambung...)
Sumber : cbn.com