Soedarjo, putra bangsa kelahiran Jakarta, 19 Desember 1922 dari pasangan Soerjadi dan Atmawati itu mengawali kariernya di perusahaan kereta api pada masa penjajahan Belanda. Dia pun menyelesaikan pendidikan khusus perkeretaapian.
Saat menjadi kepala stasiun kereta api, ia mengasah kemahiran berbahasa Belanda dan berbahasa Inggris. Keahlian dan kemahirannya dalam berbahasa Belanda dan Inggris itulah yang pada akhirnya mengantarnya untuk menggantikan orang Belanda memimpin stasiun kereta api Bogor pada usia 26 tahun. Setelah itu ia juga memimpin stasiun kereta api di Sukabumi dan Jakarta pada zaman pendudukan Belanda.
Penganut agama Kristen berdarah Jawa-Sunda-Betawi itu juga berkesempatan memimpin Kereta Api Kepresidenan RI. Ketika itu di akhir Desember 1945, Soedarjo ikut dalam usaha penyelamatan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M Hatta serta sejumlah menteri dari Jakarta ke Yogyakarta, setelah Jakarta diangap tidak aman bagi para pemimpin RI.
Bersamaan dengan teman-temannya, Soedarjo melangsir mundur gerbong-gerbong kereta api dari Stasiun Manggarai untuk dihentikan tepat di belakang rumah Presiden Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Gedung Pola). Bung Karno dan para pemimpin Republik Indonesia yang baru diproklamasikan itu naik ke gerbong dan kemudian dilarikan ke Yogyakarta. Semua dilaksanakan dengan hati-hati, tanpa lampu, agar tidak ketahuan pasukan sekutu. Atas jasa itu, pemerintah menganugerahi Satya Lencana Wirakarya sebagai pejuang (1944-1952).
Namun dalam usia 30 tahun, Soedarjo meninggalkan jabatan yang sangat terhormat untuk pribumi kala itu. Sejak 1952, dia memilih menapaki perjalanan hidup dalam dunia bisnis. Dia memulai usaha sebagai broker karet. Kemudian merambah ke bisnis kopi. Bahkan tiga tahun kemudian, dia sudah mengikuti kegiatan bursa lelang di Jerman dan Belanda.
Perusahaannya pun makin berkembang hingga menangani berbagai bidang, yakni ekspor, impor, industri, pertanian dan perkebunan, asuransi, industri pers, perbankan, dan industri farmasi. Di antaranya mengelola perkebunan karet Tigaraksa di Balaraja. Tahun 1954 mendirikan PT Indonesia Brokers Association Jakarta.
Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia dan Ketua Yayasan Rumah Sakit PGI Cikini, itu meraih sukses dalam bisnis tanpa mendapat fasilitas khusus apa pun dari pemerintah. Sehingga dia dijuluki "pejuang pengusaha dan pengusaha pejuang".
Seraya tetap menggeluti bisnisnya di berbagai bidang termasuk perkebunan yang berlokasi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Jawa Timur, Soedarjo mulai terjun ke usaha penerbitan, pada 1977, atas ajakan HG Rorimpandey (almarhum) dan teman-temannya. Bergabung di Harian Sinar Harapan dan mendirikan percetakan PT Sinar Agape Pers.
Dia menjabat Presiden Komisaris PT Sinar Kasih, yang menerbitkan Sinar Harapan (diberangus pemerintah Oktober 1986), Mutiara 1983 - 2000 serta komisaris di PT Sinar Agape Press (percetakan untuk harian Sinar Harapan) 1971-1977. Juga menjabat Komisaris PT Sitra Express 1978 - 2001, dan Komisaris PT Pustaka Sinar Harapan 1981 - 2000.
Kemudian 1987 - 1998 menjabat Presiden Direktur PT Media Interaksi Utama, penerbit Suara Pembaruan, pengganti Sinar Harapan, sekaligus menjabat Pemimpin Perusahaan koran sore tersebut. Juga menjadi Presiden Komisaris PT Radio Pelita Kasih.
Kendati kesibukannya di dunia usaha pers, Soedarjo tetap aktif mengembangkan usahanya di bidang perkebunan, perkapalan, perbankan, serta pernah beberapa kali memimpin Rumah Sakit PGI Cikini, dan Yayasan Universitas Kristen Indonesia. Sebagai importir dia yang memperkenalkan mesin-mesin percetakan untuk koran Solna Printing. Soedarjo menekuni dunia pers sampai akhir hayatnya.
Soedarjo juga dikenal sebagai kepala rumah tangga yang sukses memimpin keluarga. Bersama istrinya, Soekini (78), mereka berhasil membawa anak-anaknya menyelesaikan pendidikan, dan sebagian mengikuti jejaknya menjadi pengusaha. Dari ketujuh anaknya (lima pria dan dua perempuan), Soedarjo dikaruniai 19 cucu.
Pada hari tuanya, cucu-cucunya menjadi salah satu kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri baginya. Kepada cucunya, dia menerapkan pendidikan dan bimbingan yang pernah ia terima dari kakeknya, seorang guru jemaat di GKI Kwitang, Jakarta Pusat.
Di kalangan aktivis gerakan oikoumene, Soedarjo dikenal sebagai dermawan, donator, yang tak segan mengulurkan tenaga, waktu dan dana. Ia memberikan perhatian kepada semua kalangan, tanpa pernah membedakan latar belakangnya.
Soedarjo pernah menjabat Ketua Panti Jompo Doorkas, Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia (UKI). Ia aktif dalam proyek pembangunan gereja, khususnya GKI Kebayoran Baru Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Hingga akhir hayatnya, Soedarjo tercatat sebagai Ketua Yayasan Kesehatan PGI Cikini, yang dijabatnya sejak 1983.
Soedarjo bekerja di ladang Tuhan hingga akhir hayat. Ia dikenal sebagai seorang pengusaha yang sangat dermawan. Menurut Julia Yewangoe dan Joyce Tampemawa, sekretaris yang lama melayani Soedarjo di PT Sinar Agape Press, "Bantuan yang diberikan bukan hanya terbatas pada kalangan yang dikenal atau akrab dengan beliau, tetapi juga kepada orang yang belum atau tidak beliau kenal. Setiap menjelang Natal, surat-surat permohonan dari seluruh Indonesia memenuhi meja beliau. Dan, boleh dikata semuanya dijawab dan disumbang oleh beliau, sampai-sampai kami layaknya kantor sosial saja yang menyalurkan sumbangan."
Permohonan bantuan terus datang, bahkan sampai Soedarjo pensiun. Uniknya, permohonan itu masih dilayani. Walaupun pernah diingatkan tentang benar tidaknya pemohon sungguh-sungguh memerlukan sumbangan itu, Soedarjo tetap melayaninya.
"Benar atau tidak, biar saja, itu urusannya dengan Tuhan," kata Julia maupun Joyce menambahkan. Dalam setiap kesempatan, Soedarjo memang menekankan kejujuran kepada karyawannya.
Pengusaha dan tokoh pers nasional ini akhirnya menghembuskan nafas terakhir di kediamannya pada hari Rabu, 18 Januari 2006 dalam usia 83 tahun. Sampai saat ini ia akan selalu dikenang sebagai seorang sosok pengusaha yang dermawan dan bersahaja.
Sumber : tokohindonesia