Mengabdi 45 Tahun Tanpa Tanda jasa

Entrepreneurship / 2 August 2010

Kalangan Sendiri

Mengabdi 45 Tahun Tanpa Tanda jasa

Lestari99 Official Writer
7153

Setelah 45 tahun mengabdi sebagai seorang guru aktif, hanya pahlawan tanpa tanda jasalah yang diterima oleh St Gr Tumpak Hasiholan Simanullang. Ia mulai mengajar sejak berusia 18 tahun (1946) si SR Simanullang Toba, Matiti, Doloksanggul, Sumut hingga pensiun sebagai Kepala SDN Simanullang Toba 2 di tahun 1991. Selain sebagai seorang guru, pria yang pernah bangkit dari kematian ini juga aktif melayani sebagai penatua dan gembala sidang di gereja selama 51 tahun.

Tumpak dikenal sebagai seorang guru yang begitu mengasihi murid-muridnya. Tak pernah sekalipun ia menggunakan kekerasan untuk menghukum para muridnya. Bahkan beberapa muridnya ada yang seumur dengannya. Maklumlah, kala itu masih ada anak usia belasan tahun yang baru berkesempatan masuk sekolah rakyat (SD). Sementara Tumpak telah menjadi seorang guru pada usia 18 tahun, setelah menamatkan SGB.

Tahun 1946 Tumpak sudah mulai mengajar di Sekolah Rakyat (SR) Simanullang Toba, Matiti, Doloksanggul, Sumut, satu-satunya SR di daerah itu kala itu. Tiga  tahun kemudian Tumpak diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Namun dalam pencatatan di SK pengangkatannya tercantum tanggal lahirnya 2 Maret 1931 dari seharusnya 2 Maret 1928. Itu sebabnya Tumpak baru pensiun pada tahun 1991.

Selama karirnya sebagai guru, Tumpak hanya bertugas di tiga tempat. Yakni, Guru Sekolah Rakyat Simanullang Toba, Matiti, Dolok Sanggul, 1946-1963; Kepala Sekolah Dasar Negeri Sosor Tambok, Onan Ganjang, 1963-1967; dan Kepala Sekolah Dasar Negeri 2 Simanullang Toba, Pearaja Matiti, Dolok Sanggul 1967-1991. Tumpak ikut merintis berdirinya sekolah dasar di Sosortambok, Kecamatan Onan Ganjang serta di Desa Pearaja Matiti, dan Desa Hutagurgur, Kecamatan Doloksanggul. Dialah kepala SDN pertama di SDN Sosortambok dan SDN Simanullang Toba 2, Pearaja Matiti. Sampai pensiun (1991), dia dipertahankan mengabdi di SDN Simanullang Toba 2 ini, atas permintaan masyarakat setempat.

Gembala Sidang

Pria yang disapa akrab para sahabatnya, Guru Tumpak, juga mengabdikan diri dalam pelayanan di gereja selama 51 tahun. Tumpak mulai aktif sebagai penatua sejak tahun 1957 di gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Hutagurgur, Doloksanggul, hingga 1972. Kemudian menjadi penatua di Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Hutagurgur, Doloksanggul, 1972-1978. Lalu selama 17 tahun melayani sebagai Guru Huria (Gembala Sidang) Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Hutagurgur, Doloksanggul, 1978-1995. Sebenarnya masa kerja seorang gembala sidang dibatasi hanya 2 periode (2 x lima tahun), tapi oleh desakan para anggota jemaat, Tumpak 'dipaksa' melayani sebagai gembala sidang selama tiga periode lebih dua tahun.

Anggota jemaat kemudian merelakan Tumpak pensiun, dengan harapan masih aktif melayani sebagai penatua senior, terutama dalam pelayanan berkhotbah dan sebagai penasihat. Harapan anggota jemaat ini dipenuhi hingga akhir hayatnya. Sepanjang hidupnya, termasuk setelah dia pensiun sebagai gembala sidang, tidak ada hari yang dilewatkannya untuk beribadah, terutama pada hari Minggu. Dalam tiga tahun terakhir, kendati kesehatannya sudah mulai menurun dan kadang kala penyakit asma yang dideritanya kambuh, setiap hari Minggu Tumpak selalu tampil sehat, apalagi bila saatnya dia bertugas melayani sebagai pengkhotbah.

Seringkali anggota jemaatnya kuatir jangan-jangan Tumpak tidak mampu naik turun podium manakala tampil sebagai pongkhotbah. Tetapi apa yang dikuatirkan tidak pernah terjadi. Bahkan Tumpak masih mampu bersuara nyaring setiap kali berkhotbah kendati sehari sebelumnya, dia masih tergolek lesu di tempat tidur akibat penyakit asmanya kambuh. Tak jarang anggota jemaat meneteskan air mata manakala mendengar dia berkhotbah.

Tumpak terkenal dengan kesederhanaan dan pribadinya yang bersahaja. Ia sangat sabar, nyaris tak pernah marah. Tumpak sangat tidak senang mendengar seseorang membicarakan keburukan orang lain. Menurut pengakuannya, sejak kecil hingga masa tuanya, ia tidak pernah mau berkelahi kendati sering disakiti orang lain. Tumpak tidak pernah mau menjadi serigala, melainkan dia selalu ingn menjadi anak domba di antara serigala.

Kepada putera-puteri dan cucu-cicitnya, Tumpak selalu mengajarkan agar hidup bersahaja dan selalu bergantung pada Tuhan. "Saya tidak mewariskan harta kepada kalian. Tapi saya mewariskan firman Allah, agar kalian tetap bertekun dalam kebenaran firman Allah," pesannya.

Hidup Kembali

Banyak kisah menarik sepanjang hidupnya. Salah satu di antaranya adalah kisah kematiannya ketika berusia lima tahun (1933). Kala itu dia jatuh sakit dan dinyatakan meninggal lebih 18 jam. Pagi subuh dia sudah ditangisi ibunya Sofiana Boru Purba, karena sudah menghembuskan nafas terakhir. Tiada lagi nafas dan denyut nadi. Ayahnya, Raja Kores Simanullang, juga menangis histeris, karena putera kesayangannya meninggal dunia.

Maklum, cukup lama Raja Kores dan Sofiana menunggu kelahiran putera pertamanya ini. Tumpak baru lahir setelah empat kakak perempuannya duluan lahir. Bagi orang Batak, putera (laki-laki) adalah penerus garis keturunan. Maka ketika ucok Tumpak lahir, Raja Kores dan Sofiana, mengadakan pesta besar dengan memotong sapi (sigagat duhut), mengundang raja adat marga dan bius di Sihutinghuting, Saitnihuta, Doloksanggul. (Dalam tradisi adat Batak, terutama kala itu, tidak sembarangan memotong lembu (sigagat duhut) manakala anak lahir. Itu harus persetujuan raja adat dan bius. Hal ini juga punya konsekwensi bagi penyelenggara hajatan, yakni dalam hajatan-hajatan berikutnya, misalnya pernikahan dan adat meninggal dunia, harus lebih tinggi dari sebelumnya).

Maka ketika Tumpak, anak kesayanganya itu, meninggal, Raja Kores dan Sofiana sangat bersedih. Semua keluarga dan kerabat datang menangisi jenazah putera kesayangannya itu. Lonceng gereja juga dibunyikan pertanda kematiannya. Peti matinya juga dibuat lengkap dengan kain kafannya, sengaja dipilih kain kafan yang terbaik kala itu (1933).

Saat semua keluarga dan kerabat menangisinya, Sang Ayah Raja Kores Simanullang, justru masuk ke bilik rumahnya: Berdoa dan membaca Alkitab. Kepada kerabat yang melayat, dia menyatakan anaknya tidak akan mati. "Dia akan hidup kembali," teriaknya histeris, berulang-ulang. Sementara Sang Ayah terus berdoa dan membaca Alkitab. Raja Kores punya Alkitab Perjanjian Baru yang disalin dengan tulisan tangannya sendiri.

Namun, orang-orang sekitarnya mengira Sang Ayah sudah gila: Bibelon! (Istilah bagi orang yang dianggap gila karena terlalu banyak membaca dan salah memahami Bibel). Karena dianggap sudah gila, Sang Ayah malah sengaja sempat dikunci dalam biliknya sendirian. Sudah gila. Bibelon!

Lalu saat Sang Ayah sendirian berdoa di biliknya, semua acara pemakaman, layaknya seorang anak berusia lima tahun meninggal, sudah dilakukan. Namun belum bisa dikebumikan, selain dilarang oleh Sang Ayah, juga karena ada permintaan Sang Ibu untuk menunggu Amangborunya (suami dari kakak perempuan sang Ayah) yang tinggal di Pakkat Dolok. Amangborunya (Marga Purba) ini sangat sayang dan dekat dengan si bocah Tumpak. Amangborunya, kala itu, tidak sedang berada di rumah (kampung). Sehingga, sampai pukul 15.00 WIB, masih belum dimakamkan, tapi didengar kabar, Amangborunya sudah akan segera datang.

Beruntung, belum dimakamkan. Ketika Sang Ayah bangkit dari bilik kesendiriannya, dia meminta dibukakan pintu, lalu menghampiri puteranya Tumpak yang terbaring kaku di peti mati dalam balutan kain kafan, sambil menatap dan menengadahkan tangan ke atas berdoa: "Tuhan Jesus, bangkitkan puteraku, seperti Lazarus!"

Tiba-tiba mata si bocah Tumpak berkedip. Lalu menatap Sang Ayah yang berdiri di hadapannya dan Sang Ibu yang menangis tersedu di sampingnya. Sang Ayah mengangkat, memeluk dan menciuminya, seraya berulang-ulang memuji kebesaran Tuhan. Puji Tuhan! Haleluya!

Suasana pun menjadi gempar. Ini mujizat. Tumpak dibangkitkan dari mati. Raja Kores ternyata tidak gila, tidak bibelon.Sai Solhot tu SilangMi (Pada Kaki SalibMu). Upacara pemakaman (kematian) berubah menjadi sukacita (kebangkitan dari mati). Raja Kores pun melantunkan kidung rohani berulang kali, diikuti oleh semua hadirin:

Sementara, Amangborunya yang ditunggu-tunggu, tiba dengan dua bungkus roti marie di tangannya. Dari kejauhan, dia sudah menangis meraung-raung. Tetapi tangisannya tiba-tiba berhenti manakala dia saksikan keponakannya (paramaannya), Tumpak, sudah hidup kembali dalam pelukan iparnya (Raja Kores).

Kisah ini nyata di tengah masyarakat Saitnihuta, Doloksanggul. Tumpak pun kemudian sehat walafiat dalam pengasuhan kedua orangtuanya. Sebelum Tumpak menjadi guru, dia sempat mengikuti Sang Ayah, berdagang garam. Kala itu garam diambil dari Barus menapaki jalan terjal lewat Pakkat. Saat itu, Tumpak masih memakai kain kafannya, yang dijadikan celana dan kemeja. Kala itulah kain kafan itu rusak. Sementara peti matinya sudah sejak hari pertama dibakar, bersamaan lubang kuburnya ditimbun (diuruk) kembali hingga rata.

Tumpak pun tumbuh sebagai seorang anak dan remaja yang diasuh dalam balutan pengalaman relijius. Dia dibawa pindah oleh Sang Ayah dari Saitnihuta ke Desa Hutagugur saat berusia 10 tahun. Di sini dia bertumbuh menjadi remaja dan dewasa.

Pada awalnya, keluarga Raja Kores, nyaris dikucilkan dalam pergaulan sehari-hari dan adat di kampung itu. Namun Raja Kores dan keluarga serta para pekerjanya semakin tekun bekerja dan melakukan kebaktian di Rumah Bolon (Rumah Batak Besar) yang telah dibangunnya di kampung itu. Nama dusun itu dia sebut Pansinaran na Uli (Diadakan upacara adat untuk peresmian dusun itu). Selain rajin bekerja, dengan puluhan orang pekerja, tiga orang kemudian menjadi menantunya, keluarga Raja Kores pun selalu setia melakukan kebaktian di Rumah Batak itu.

Sampai beberapa tahun kemudian, terjadi paceklik (haleon) di daerah itu. Beberapa penduduk kemudian mendekati keluarga ini. Karena di ladang dan perkampungan keluarga ini banyak persediaan makanan, seperti beras, ubi jalar dan ubi kayu (ketela), gundur dan jelok (labu) dan berbagai jenis buah-buahan lainnya.

Mula-mula mereka datang pada acara kebaktian yang secara berkala setiap pekan diadakan di Ruma Batak (rumah tanpa bilik). Setiap selesai kebaktian selalu diadakan jamuan makan. Peserta kebaktian juga boleh mengambil buah tangan berbagai buah-buahan yang ada di pekarangan perkampungan Pansinaran itu. (Sebagaimana lazimnya kala itu, dibangun tembok pembatas ditanami pohon dan bambu sekeliling perkampungan).

Keluarga ini membawa suasana relijius baru di kampung itu. Kala itu masih banyak yang belum mengenal Kristus di daerah itu. Sebagian besar masih menganut kepercayaan animisme, agama tradisi Batak (Parmalim)  dan sebagian beragama Islam. (Pada tahun 1972, di bagian sudut tertinggi, bukit, dusun Pansinaran, kemudian berdiri bangunan gereja GKPI di mana Guru Tumpak menjadi gembala sidang selama 17 tahun).

Di rumah keluarga yang baru datang ini, secara berkala dilakukan kebaktian (partangiangan). Banyak orang yang mengenal Kristus melalui kebaktian di rumah keluarga ini. Termasuk gadis remaja Ame Nurianna br Situmorang, puteri seorang saudagar Tumbur Situmorang/Br Simanullang, seorang Parmalim yang kala itu sempat menganut  agama Islam, yang kemudian dipersunting Tumpak menjadi isterinya.

Keluarga Saudagar Tumbur Situmorang (Ompu Marolop) ini mendiami dusun Parmonangan yang bertetangga dengan dusun Pansinaran. Keluarga Saudagar Situmorang, yang rumahnya bertangga semen, ini kemudian menjadi sahabat dekat keluarga Raja Kores. Sampai akhirnya, Tumpak, putera Raja Kores menikah dengan Ame Nurianna, puteri Saudagar Tumbur Situmorang, tahun 1950. Dikaruniai 12 anak (7 putera, dua meninggal masih anak-anak, dan lima puteri).

Dalam suasana itulah Tumpak diasuh menjadi manusia relijius yang nyaris tak pernah berpikir tentang harta kekayaan duniawi, sampai dia mencapai usia 80 tahun.

Saurmatua

Ompu Mangatur Doli, gelar Tumpak di masa tuanya, meninggal dengan tenang dalam pelukan isterinya Ame Nurianna Br Situmorang (Gelar Ompu Mangatur Boru), Kamis 17 Januari 2008 pukul 09.30 WIB.  Meninggal saat dirawat lebih dari satu bulan di RSU Doloksanggul akibat penyakit asma. Saat dia meninggal, keturunannya berjumlah 61 orang, termasuk dua orang cicitnya yaitu satu nini bernama Asasira (cucu dari putera pertamanya) dan satu nono bernama Daniel (cucu dari putri pertamanya). Cicitnya (nini) baru lahir di Jakarta tanggal 18 Desember 2007, persis satu bulan sebelum dia meninggal.

Upacara pemakaman, sesuai dengan pesannya, lebih banyak diisi upacara kebaktian. Antara lain kebaktian (kesaksian) keluarga, dan kebaktian umum. Acara kebaktian (kesaksian) keluarga berlangsung khidmat diwarnai iringan Ende 449 Sai Solhot tu SilangMi dan Kidung Jemaat 368 Pada Kaki SalibMu. Juga kebaktian oleh Jemaat Gereja HKBP Hutagurgur dan kebaktian oleh Gereja Kristen Potestan Indonesia pada Minggu siang 20 Januari 2008. Serta kebaktian pelepasan di gereja GKPI Hutagurgur (21 Januari 2008), di mana dia bertugas selama 17 tahun sebagai gembala sidang (guru huria).

Kemudian dimakamkan di Pemakaman Keluarga Ompu Robinson Binsar Halomoan di Desa Hutagurgur, Kecamatan Doloksanggul, Kebupaten Humbang, Provinsi Sumatera Utara, pada Senin 21 Januari 2008.

Selain diisi upacara kebaktian gereja, upacara pemakamannya juga diisi upacara Adat Saurmatua dengan Gondang Sabangunan dipadankan seruling dan musik tiup (musik modern). Upacara kebaktian dan adat saurmatua ini berlangsung dari Kamis 17 Januari s/d Senin 21 Januari 2008 di Dusun Pansinaran, Desa Hutagugur, Doloksanggul. Upacara ini termasuk singkat dibandingkan lazimnya upacara adat saurmatua lainnya di Tapanuli, yang sering kali harus selama tujuh hari.

Sumber : tokohindonesia
Halaman :
1

Ikuti Kami