Ibukota negara Republik Indonesia, DKI Jakarta, sudah lama terkenal sebagai pusat kemacetan. Mau jalan tol atau pun jalur biasa, deretan mobil mengantri pasti terlihat mulai dari pagi sampai malam hari.
Melihat hal ini, Direktur Ruang Jakarta (Rujak) Center for Urban Studies, Marco Kusumawijaya, Senin (26/7), mewacanakan 3 solusi kepada pemerintah.
Menurut Marco, solusi pertama mengatasi macet di Jakarta adalah membatasi penggunaan mobil. Dalam pandangannya, banyaknya mobil yang dipakai oleh masyarakat Jakarta untuk melakukan aktivitas membuat jalan sepertinya kurang ruang. Padahal, dibandingkan dengan Singapura, jumlah mobil di Jakarta masih jauh lebih sedikit. Lalu mengapa Singapura tidak mengalami masalah kemacetan layaknya Jakarta? Karena warganya lebih sedikit melakukan perjalanan dengan mobil.
Lalu, solusi yang kedua, ujar Marco, adalah penataan penggunaan tanah. Kesalahan pemerintah selama ini adalah karena mereka membangun infrastruktur mobilitas seperti jalan dan angkutan baru. Pemerintah, tambahnya, seharusnya menyediakan hunian terjangkau di sepanjang dan sekitar tiap stasiun mass rapid transit yang akan dibangun. Kemudian lapangan pekerjaan juga terdapat di sepanjang jalur itu. Kawasan sekitar tiap stasiun dalam radius 800 meter ditata land-use dan pengembangannya.
Solusi terakhir adalah trotoar untuk pejalan kaki harus dibuat lebih bagus daripada jalan itu sendiri. "Pondasi trotoar harusnya sama dengan pondasi jalan mobil. Sekarang tidak, maka trotoar cepat sekali rusak, bahkan di Menteng sekalipun," ujar Marco.
Berdasarkan hasil penelitian Dinas Perhubungan Jakarta pada tahun 2009, Kemacetan lalu lintas di Jakarta merugikan warga Jakarta sekitar Rp 17,2 triliun setiap tahun.
Sumber : VIVAnews