Koalisi para pemimpin Kristen dan Muslim di Sudan Selatan mendesak masyarakat untuk memilih kemerdekaan dalam sebuah referendum yang akan dilakukan pada Januari tahun depan untuk menentukan nasib bangsa yang memiliki banyak masalah ini.
Referendum Inisiatif Para Pemimpin Agama Sudan yang diluncurkan minggu ini percaya bahwa orang-orang di selatan adalah "warga kelas dua" di negara kesatuan Sudan.
Sebuah perdamaian yang rapuh telah terjadi antara umat Muslim yang tinggal di wilayah Utara dan umat Kristiani yang sebagian besar tinggal di wilayah selatan sejak Perjanjian Damai Komprehensif mengakhiri perang sipil 22 tahun antara dua daerah yang menyebabkan 1,5 juta orang.
Uskup Paul Yugusuk dari Gereja Episkopal Sudan, mengatakan saat inisiatif ini diluncurkan, posisi dari produk Kristen dan anggota Muslim memiliki satu tujuan yakni "untuk memimpin orang-orang mewujudkan kemerdekaan Sudan Selatan ".
"Kami telah melihat cara persatuan dengan tindakan destruktif, tetapi memisahkan diri adalah hal yang lebih baik bagi rakyat Sudan Selatan," kata Uskup Paul seperti dilansir Christiantoday.
"Jika kami tetap berada dalam negara kesatuan Sudan, pasti kami akan tetap sebagai warga kelas kedua, suka atau tidak."
Perjanjian Damai Komprehensif telah disetujui oleh rakyat Sudan Utara dan Selatan sebagai tanda berakhirnya konflik bertahun-tahun yang disebabkan karena masalah etnis, agama dan akses ke sumber daya alam, termasuk, emas, kapas dan minyak.
Kesepakatan perdamaian Sudan Selatan memberikan janji akan hak untuk memilih apakah mereka ingin tetap menjadi bagian dari Sudan bersatu atau merdeka.
Uskup Arkanjelo Wani, dari Afrikan Inland Mission, mengatakan kesatuan adalah sesuatu yang "tidak pernah menarik".
"Namun dalam lima tahun substansial sesuatu yang telah dibuat, jadi kami mengatakan, waktu untuk persatuan berakhir," katanya.
Wani Gaden, dari Dewan Islam untuk wilayah selatan Khatulistiwa Tengah, menyatakan ia akan memberitahu umat Muslim bahwa ia memilih "merdeka".
Referendum kemerdekaan Sudan Selatan yang dilakukan pada Januari 2010 sendiri juga akan menentukan apakah wilayah tengah Abyei akan bergabung utara atau selatan Sudan.
Organisasi hak asasi manusia dan sosial, seperti Global Witness dan Refugees International, memperingatkan dunia internasional akan kembali terjadinya perang saudara antara rakyat Sudan Utara dan Selatan mengingat belum tercapainya kesepakatan pembagian pendapatan minyak dan belum pasti diterimanya isi referendum oleh kedua belah pihak.
"Mengkhawatirkan, saat ini tingkat persiapan pelaksanaan referendum masih sangatlah minim dan kemungkinan berjalannya referendum bebas, adil dan damai pada bulan Januari 2011 semakin sulit terlihat," peringat mereka.
"Sangatlah penting mengetahui bahwa penjamin acara referendum ini benar-benar mempersiapkan hal ini dengan baik, dan juga memastikan keamanan perjanjian pada isu-isu sensitif seperti demarkasi perbatasan dan pembagian minyak."
Keputusan untuk memisahkan diri antara Sudan Selatan dan Utara kiranya benar-benar merupakan jalan terbaik bagi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bersama. Semoga tidak ada lagi rakyat disana yang merasa dinomorduakan oleh karena agama yang ia anut. Malahan, kiranya hubungan diantara kedua wilayah yang berpuluh-puluh tahun berkonflik akan damai dan semakin harmonis.
Sumber : christiantoday.com