Joris Lilimau, Pejuang Pendidikan Suku Hoaulu

Entrepreneurship / 12 July 2010

Kalangan Sendiri

Joris Lilimau, Pejuang Pendidikan Suku Hoaulu

Lestari99 Official Writer
5071

Joris Lilimau adalah pahlawan pendidikan bagi suku yang tinggal di kawasan hutan Taman Nasional Manusela, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Bagaimana tidak, ketika ia merintis sekolah darurat di wilayah tersebut dua tahun lalu, tidak ada seorangpun siswa yang mau hadir. Saat ini, 30 orang murid di dua kelas mengikuti kegiatan belajar dan mengajar dengan serius tanpa ada yang berani mengobrol.

Ketika Joris membangun sekolah darurat, bangunan sekolah hanya beratap sirap dan berdinding batang kayu. Masyarakat Hoaulu secara gotong royong membangun sekolah tersebut selama enam bulan, Namun sayang, kesadaran tersebut tidak dibarengi kesadaran para orangtua untuk menyekolahkan anak mereka.

Pola hidup yang sudah terbentuk semenjak ratusan tahun menjadi kendala utamanya. Berburu dan bekerja di ladang adalah hal utama yang dilakukan masyarakat ini. Pendidikan sama sekali tidak dikenal sehingga tidak dilihat sebagai hal yang penting. Meskipun Joris menyediakan pendidikan gratis dan anak-anak tak perlu membawa alat tulis ataupun mengenakan seragam sekolah, tetap saja tidak satupun anak Hoaulu yang mau pergi ke sekolah.

Lelaki yang dilahirkan dan besar di Kanike, desa pedalaman di Manusela ini, tidak patah arang. Belas kasihannya atas kondisi suku ini membuatnya meninggalkan zona kenyamanannya sebagai guru tetap dan mulai merintis sekolah darurat hanya supaya mereka bisa membaca dan menulis serta tidak perlu menempuh perjalanan menembus hutan dan Sungai Oni yang memakan waktu tempuh 3 jam dari sekolah terdekat.

Tekad kuat yang dimiliki Joris membuatnya tetap sabar mendatangi warga satu per satu dan menjelaskan pentingnya pendidikan. Untuk memancing anak-anak ke sekolah, ia memberikan kue atau permen secara cuma-cuma. Selama dua bulan, hal itu terus dilakukan Joris dan hasilnyapun akhirnya terlihat. Saat ini para murid justru datang ke sekolah jauh lebih cepat dari para gurunya.

Tidak hanya anak-anak, remaja usia 14-16 tahun pun datang menyambangi sekolah Joris namun ia tak pernah mempermasalahkan perbedaan umur tersebut. Baginya membuat mereka bisa membaca dan menulis agar tidak tertinggal dengan dunia luar jauh lebih penting.

Dalam mengajar, Joris hanya bermodalkan 10 buku pelajaran pemberian murid dan guru dari SD di Rumah Sokat, Seram Utara, tempat di mana dia mengajar sebelumnya. Demi kemajuan dan masa depan suku Hoaulu, usaha Joris tidak berhenti sampai di situ. Ia berupaya mendatangi pejabat Dinas Pendidikan dan DPRD Kabupaten Maluku Tengah dengan menempuh perjalanan sejauh 140 kilometer dan memakan waktu lima jam dengan mengendarai sepeda mpotor.

Setahun penuh perjuangan, pada April 2009 akhirnya sekolah darurat yang dibangunnya di Hoaulu diakui oleh pemerintah. September 2009, pemerintah memberikan bantuan berupa uang untuk pembangunan dua ruang kelas di Hoaulu. Seorang guru honorer, Mike Lilimau (21), juga dikirimkan untuk membantunya mengajar. Namun setelah sekolah selesai dibangun, pemerintah kembali melupakan mereka.

Alat tulis, buku pelajaran, dan keperluan penunjang kegiatan belajar-mengajar tidak pernah diberikan. Dengan uang pribadinya, Joris merogoh kocek Rp 300.000 untuk membeli dua papan tulis dengan spidol untuk keperluan dua kelas di SD Kecil Hoaulu itu. Dengan kondisi dan sarana penunjang seadanya, Joris terus berjuang agar sekolah ini bisa tetap berjalan. Kini berkat kegigihannya, sebagian warga Hoaulu mulai bisa membaca, menulis dan menghitung.

Joris memulai karirnya sebagai guru di tahun 1984 setamatnya dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Ambon tahun 1982. Awal karirnya dimulai di Kanike, kampung kelahirannya. Kanike berada di tengah belantara hutan di Manusela. Untuk mencapai kampung itu, orang harus berjalan kaki selama satu hingga dua hari dari Hoaulu. Saat musim hujan, Kanike kerap kali tidak bisa dicapai karena derasnya aliran sungai yang melintasi Kanike dan Hoaulu.

Tahun 1988, Joris mengajar di SD Kobisonta, Seram Utara. Kemudian pada tahun 1994 ia pindah mengajar di SD Rumah Sokat, Seram Utara. Saat itu, kedua tempat tersebut termasuk pelosok. Keterisolasian Desa Kobisonta dan Desa Rumah Sokat akhirnya terbuka di tahun 2007 setelah dibangunnya Jalan Trans Seram yang menghubungkan Kabupaten Maluku Tengah dan Seram bagian Timur.

“Untuk menjadi seorang guru memang harus seperti ini. Di manapun guru ditugaskan harus siap. Jangan seperti guru yang ditugaskan di pelosok langsung minta pindah atau hanya mau gajinya saja. Sedangkan para guru itu hanya sesekali saja mengajar di sekolah itu. Kasihan anak murid. Bagi saya, mengajar di daerah terpencil adalah sesuatu yang tak ternilai harganya,” tuturnya tentang anak-anak didiknya yang sebagian sudah menjadi polisi, bidan dan juga guru seperti dirinya.

“Anak-anak pedalaman itu tidak ada bedanya dengan anak-anak kota. Berilah mereka kesempatan untuk mengenyam pendidikan, maka mereka akan membuktikan diri sama pintarnya dengan anak-anak kota,” tegasnya.

Maju terus Joris. Orang-orang seperti Andalah yang dibutuhkan bangsa ini. Jika ribuan Joris seperti Anda bangkit di seantero negeri ini, pastilah Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dan berjaya.

Sumber : kompas
Halaman :
1

Ikuti Kami