Aksi main hakim sendiri sepertinya masih belum bisa hilang dari negeri ini, terutama bagi mereka yang hidup di daerah pedesaan. Hukum positif sepertinya tidak mempunyai kekuatan apabila emosi sudah memenuhi hati masyarakat. Seperti yang terjadi di Sumatera Utara, Sabtu (15/5) malam lalu.
Satu keluarga tewas dibakar hidup-hidup karena dituduh memelihara begu ganjang (santet). Gipson Simaremare, 60, Riama Br Rajaguguk,65, dan Lauren Simaremare,35, tidak dapat berbuat apa-apa ketika massa menyeret mereka keluar dari rumah mereka. Bahkan sang ayah (Gipson, red) harus ditusuk oleh tetangganya karena melakukan sedikit perlawanan.
Menurut kesaksian istri Lauren Simaremare, Tiur Br Nainggolan, 30, yang selamat dari peristiwa tersebut, sebelum menganiaya dan membakar, warga terlebih dahulu menggelar doa bersama. Mereka sangat yakin bahwa keluarga Gipson memelihara santet, meski tidak punya bukti yang kuat. Mereka hanya menduga Gipson berada di balik kematian sejumlah warga desa dalam beberapa waktu terakhir.
Sementara itu, Kapolres Tapanuli Utara AKBP J Didiek DP menyatakan bahwa pihaknya telah berusaha untuk meredam amarah warga dan menyelamatkan keluarga Gipson, tetapi api yang sudah membesar dalam tubuh para korban membuat nyawa mereka sudah tidak bisa tertolong kembali.
Ketika hukum dipandang sebelah mata oleh warganya maka inilah yang terjadi. Perlu ada keseriusan dari pemerintah semua tingkatan dari pusat sampai daerah terkecil dan pihak-pihak terkait untuk mencari cara agar masyarakat tidak sewenang-wenang untuk melakukan “pengadilan sendiri”. Gereja pun kiranya mengambil bagian dalam mendoakan dan membina rohani orang-orang yang disekitarnya. Bila semua ini telah berjalan dengan baik maka apa yang terjadi dua hari lalu, tidak akan kita temui di negeri ini di kemudian hari.
Sumber : Surya