“Pada suatu hari, saat jam istirahat, sejumlah murid saya yang berusia 12 tahun menghilang di balik tumpukan bangku-bangku yang sudah tak terpakai lagi. Dari balik tumpukan bangku bekas itu saya bisa mendengar suara tawa tertahan dan suara-suara lain, yang membuat saya menduga mereka sedang melakukan ‘hal yang tidak-tidak’. Maka saya pun menengok ke balik tumpukan itu untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Tapi saya jadi malu sendiri sebab mereka yang sedang mereka lakukan ternyata main rumah-rumahan sambil menikmati bersama bekal makan siang dan minum yang mereka bawa! Mereka malah mengajak saya bergabung dengan mereka. Tapi saya hanya bisa tersenyum dan dengan perasaan malu saya meninggalkan mereka dan masuk lagi ke dunia saya yang hiruk-pikuk. Saya lupa mereka itu masih anak-anak yang punya kebutuhan untuk selalu bermain.”
Itulah contoh salah satu cara berpikir orangtua terhadap anak-anaknya. Perlakuan kita dapat merenggut masa kanak-kanak mereka. Begitu juga pengaruh dari luar, cara terjadinya bisa bermacam-macam, seperti :
Media yang menggebu-gebu.
Rasa ngeri, takut, sedih, dan sakit menjadi ‘makanan’ yang setiap hari disuguhkan oleh media dalam bentuk berita maupun hiburan. Media memang bertujuan menayangkan hal-hal yang menggegerkan supaya perhatian kita selalu tertuju ke arahnya. Di sini sama halnya dengan menjejali anak-anak dengan hal negative, yang tidak relevan, dan yang sama sekali belum mampu mereka cerna.
Cara hidup yang diatur terlalu ketat
Banyak keluarga yang mengharuskan anak-anak mereka melakukan beragam kegiatan – mulai dari olahraga, musik, kesenian dan macam-macam pelajaran tambahan sehingga anak mereka mempunyai sedikit sisa waktu untuk menjadi anak secara wajar. Pemecahan masalah itu bisa dilakukan dengan menerapkan satu aturan sederhana – satu anak, satu kegiatan.
Kecemasan yang berlebihan
Anak-anak dari kecil sudah diajar untuk bersaing. Dalam sekolah, mereka disarati dengan berbagai kegiatan yang sifatnya memicu prestasi murid. Anak-anak usia tujuh tahun berlomba mencapai nilai tertinggi. Mereka sudah bisa merasakan kecemasan atas prestasi mereka, sangat berharap bisa menjadi anggota tim. Hal ini membuat anak-anak tidak lagi bersikap seperti anak-anak.
Orangtua yang terlalu sibuk
Orangtua sibuk bekerja akan punya sedikit sekali waktu dan energi untuk melakukan kontak. Pulang ke rumah sudah lelah, mudah tegang, mau semuanya serba cepat, dan yang pasti akan membuat orangtua tak sanggup menjadi kawan karib bagi anak-anak.
Dunia yang tak aman
Pada tahun 1950-an, anak-anak bisa leluasa menjelajahi wilayah pemukiman tempat tinggalnya tanpa menimbulkan kecemasan orangtuanya, bahkan seandainya anak-anak itu nyaris tak terlihat sejak pagi sampai petang pun. Pada masa kini, hal tersebut tak mungkin terjadi. Kita perlu mengawasi serta melindungi mereka secara ketat dari keramaian lalu lintas, orang asing, serta tindak kriminal.
Sumber : Buku Mendidik Anak dengan Cinta/lh3