Disiplin adalah sesuatu yang lucu. Anda baru menyadari perlunya disiplin justru pada saat tak ada disiplin. Begitu banyak orangtua yang pernah mengalami kadang kala anak-anak mereka sulit sekali menurut atau mau mengerti. Tetapi, ada juga orangtua yang nyata-nyata berhasil membuat segala sesuatu berlangsung mulus. Apa rahasianya?
Para orangtua yang berhasil ini memanggil anak-anaknya yang masih kecil, “Ayo, ke sini”, dan anaknya itu langsung menurut, berjalan menghampiri orangtuanya. Anak mereka yang berusia sepuluh tahun menyiapkan dan menghidangkan teh untuk keluarga. Anak remaja mereka menelepon untuk memberitahu mereka akan pulang lebih awal. Hebatnya lagi, mereka bukanlah anak pemalu atau penakut. Mereka anak-anak yang bahagia, optimis, dan tenang.
Bagaimana cara mendidiknya?
Menuruti kemauan anak tidak akan membuat hidup lebih mudah. Orangtua yang tidak tegas dalam menetapkan batas-batas akan mendapati anak-anaknya bertingkah laku semakin tak terkendali. Hal ini bisa membuat Anda serta anak Anda bertengkar dan tak seorang pun senang dengan suasana seperti ini.
Namun, disiplin sebenarnya lebih daripada sekadar itu. Kita menerapkan disiplin pada anak-anak bukan sekadar kepentingan kita, namun tujuan utamanya yaitu melatih anak-anak agar mereka kelak mampu bersikap baik serta bisa mulus dalam menghadapi hidup ini.
Jika Anda sebagai orangtua tidak tegas, maka anak-anak tak akan mampu mengembangkan daya control di dalam dirinya, sehingga mereka tak sanggup mengendalikan diri sendiri dan tetap bersikap seperti anak umur dua tahun.
Akibat dari didikan orangtua
Orangtua yang membiarkan anak-anaknya berlaku semaunya akan membuat mereka tak berdaya dalam menghadapi kenyataan hidupnya kelak. Biasanya, mereka akan tumbuh menjadi orang dewasa yang tidak bahagia, lebih sering menganggur, tak berumah tangga, kesepian, mudah tersinggung dan marah, bahkan akan merasakan penjara.
Seorang anak yang dididik untuk mengontrol diri sendiri oleh orangtuanya dengan baik, berarti ia sudah belajar bagaimana menempatkan diri dalam menghadapi kenyataan hidup, sehingga ia tidak mudah terlibat masalah dan menjadi manusia yang bebas dan dewasa.
Agar anak mau bekerjasama
Gunakan teknik “berdiri diam untuk berpikir”. Kedua teknik ini diterapkan mulai saat anak belajar berjalan (toddler), disesuaikan seiring pertumbuhan anak serta bisa terus diterapkan sampai anak menginjak dewasa.
Saat anak Anda tidak mau menuruti permintaan Anda untuk menjauh dari kabel ataupun dari kompor misalnya, walau sudah Anda bilang berkali-kali, Anda dapat menggendong anak Anda dari belakang dan letakkan di suatu pojok ruangan, dimana pojok itu tidak terdapat benda apapun.
Mungkin anak Anda akan melakukan berbagai ulah, mungkin membuatnya kaget dan tersinggung, namun lama kelamaan dia akan menyerah. Bilang padanya, “Kalau kau sudah bisa tenang kembali, baru kau boleh pindah dari tempat ini.” Lalu tanyakan, “Nah, kau mau menuruti kata-kataku untuk menjauh dari kabel tersebut?” Ketika sang anak berusia dua setengah tahun, ia akan segera menuruti orangtuanya yang memerintahkannya masuk ke tempat pojok untuk berpikir itu. Ketika usianya lima tahun, ia sudah belajar memikirkan dan menimbang segala tindakannya, menghargai perasaan orang-orang lain di sekitarnya tanpa kehilangan jati dirinya sebagai bocah umur lima tahun yang gembira, lincah dan apa adanya.
Bila Anda merasa kehilangan kendali diri, urungkan dulu keinginan untuk mengurusi anak Anda, cukup suruh anak Anda masuk ke kamarnya dan menyuruhnya diam di sana sampai Anda tenang kembali. Anak Anda tentu akan menuruti perintah Anda (walau dengan mengomel, misalnya) karena ia tahu ia tak punya pilihan lain dan tahu bahwa urusan itu tak akan berlangsung lama serta bukan sesuatu yang besar. Ia akan tahu bahwa memang begitulah cara menyelesaikan masalah. Dalam hal ini yang penting adalah mengarahkan anak agar ia mampu menemukan solusi yang bisa diterima oleh semuanya.
Sumber : Buku Mendidik Anak dengan Cinta/lh3