Kita kerap kali cenderung menyamakan kehendak Allah dengan kesibukan. Semakin kita sibuk, semakin (kita pikir) Allah menyukainya. Namun, Allah sebetulnya sangat memperhatikan kedua belah sisi dari persamaan itu: Ia tertarik dengan kesibukan kita, dan juga dengan istirahat kita. Istirahat itu disarankan dan juga diperintahkan oleh Allah. Kita mungkin bias berkata bahwa Allah itu adalah Allah yang pro-istirahat.
Ketidakseimbangan yang ekstrim dalam hidup yang kita jalani saat ini adalah semata-mata pengembangan dari dunia modern. Augustine berbicara tentang kehidupan aktif dan kehidupan berkontemplasi. Sementara keduanya memang memainkan peranan penting, namun, kehidupan berkontemplasi - yang menjadi domain dari merefleksikan diri, merenung, dan berdoa - dianggap memiliki nilai yang lebih besar.
Kenyataannya, Allah memang menciptakan aktivitas maupun istirahat. Ini merupakan siklus hidup yang penting yang sekarang sudah jauh menghilang, dan nampaknya para ahli sejarah kuno dan arkeolog saja yang bisa menggali kenangan tersebut. Dari seorang misionari yang pernah melayani di Afrika Timur berpuluh-puluh tahun yang lalu mengemukakan perspektif yang mengkoreksi: "Saya mengingat kembali pada masa selama sembilan tahun saat keluarga kami menikmati kehidupan di lereng Gunung Kilimanjaro," kenang Midred Tengbom. "Di sana, walaupun pelayanan kami kadang-kadang banyak tekanan, laju kehidupan umumnya berjalan seperti laju orang yang berjalan kaki daripada berlari. Ada banyak pepohonan hijau yang rindang dimana kami bisa duduk di bawahnya, dan hati nurani yang memberi kami kesempatan untuk menikmati waktu itu. Kami tidak terus-menerus diingatkan bahwa nilai kami bergantung pada seberapa ‘aktif,' atau seberapa ‘terlibatnya' kami.
Kesibukan itu sendiri bukanlah merupakan pahala yang dihasilkan dari dalam dirinya sendiri. Tidak ada korelasi langsung antara kesibukan dan ‘buah.' Saya tidak menentang untuk menjadi orang yang sibuk. Tetapi, saya menentang untuk menjadi orang yang sibuk dengan kesibukan yang tidak semestinya, begitu pula halnya saya memang menentang menjadi orang yang berkelebihan beban secara kronis. Ketika kita begitu sibuk maka kelebihan beban, kesukacitaan ktia, kesehatan kita, dan hubungan-hubungan kitalah yang akan menanggung akibatnya.
R/ Bertobatlah dari kesombongan karena menjadi orang yang sibuk. Kita terus menerus beraktivitas, serta berpikir bahwa semakin sibuk maka nampaknya kita ini semakin dihormati. Sementara orang yang duduk-duduk di ayunan di taman dicemooh, orang yang bergerak seperti pesawat yang terbang dengan kecepatan cahaya malah dihormati. Ada perangkap di sini, dan kesombongan adalah namanya. Sebelum kita bisa memperlambat langkah dan mempersilakan Allah membenahi hati kita, maka terlebih dahulu kita harus mengakui kesalahan kita. Bukan kesibukanlah yang harus kita tinggikan, tetapi, kasih.