CEO wanita pertama di Pertamina yang berusia 51 tahun ini telah menyelesaikan sentuhan akhir dari strateginya yang jelas dan tegas untuk perencanaannya mengubah perusahaan tersebut menjadi pemain global. Ia juga telah menegaskan baik bagi orang luar maupun orang dalam bahwa kebiasaan-kebiasaan lama yang buruk yang selama ini berjalan di dalam perusahaan, adalah hal masa lampau yang sudah dihilangkan.
Gerakan pertamanya setelah ditunjuk sebagai CEO Pertamina adalah ia tidak akan mentoleransikan intervensi dari luar yang akan mengganggu perusahaan, yang selama ini digunakan sebagai sapi perahan para politikus dan pebisnis semenjak perusahaan ini berdiri lima dekade lalu.
"Sehubungan dengan pernyataan itu, tak ada lagi yang mengganggu saya," ujar Karen. "Sepanjang saya amati, tak ada seorang pun yang berani mengintervensi. Anda sangat disambut untuk melakukan bisnis dengan Pertamina, tetapi itu haruslah melalui prosedur-prosedur yang layak dan sebuah proses tender," ujar wanita lulusan ITB angkatan 1984 ini.
Tentu saja semua kontraktor production-sharing mengamati: "Apakah saya akan bertahan (di Pertamina)? Jika sesuatu terjadi pada saya, mereka akan melihat bahwa Pertamina tidak bisa dijalankan oleh seorang profesional," ujar ibu dari 3 anak ini yang sudah menikmati pergelutan karir di perusahaan-perusahaan migas seperti ExxonOil dan Halliburton sebelum bergabung dengan Pertamina.
Karen ingin memastikan agar praktik internasional yang terbaik diaplikasikan di Pertamina, yang bertujuan¬ untuk menjadikan perusahaan publik non-listed di tahun 2010 dalam upaya untuk menolong meningkatkan keeratan dengan perusahaan pemerintah yang baik. Ia tak takut jika tekadnya yang kuat tersebut dapat mempertaruhkan pekerjaannya.
"Jika Anda sudah tiba di posisi ini, Anda harus siap untuk pergi; demikianlah Anda tidak kehilangan apa-apa dan bisa berkonsentrasi pada apa yang terbaik bagi perusahaan," ujarnya. Ia mengetahui bahwa faktor kunci untuk memastikan kesuksesan dari strateginya adalah untuk memiliki orang-orang yang berkualifikasi dan berkomitmen. Semenjak ia berada di posisi direktur dari divisi yang paling menentukan, ia tak ragu-ragu untuk memberhentikan orang yang tak cocok dengan pekerjaannya.
Ia juga mengaplikasi kebijakan "pintu terbuka," menyediakan bagi manajer-manajer tingkat menengah dengan sebuah jalur komunikasi langsung dengannya jika saja mereka menghadapi halangan-halangan dari atasan mereka. "Saya tak ingin hanya mendengar dari para direktur atau deputi dikarenakan, berdasarkan pengalaman saya di perusahaan-perusahaan asing, saya terkadang harus turun dua level di bawah saya."
Ia juga secara teratur mengundang staf-staf muda dengan potensi kepemimpinan untuk makan pagi untuk berbicara "dari hati ke hati" berbicara mengenai strategi perusahaan. "Mereka mungkin saja memiliki ide-ide penerobos yang bisa didiskusikan di forum. Saya mencatatnya, dan selanjutnya membagikannya di pertemuan dewan direksi."
Di bawah kepemimpinannya juga, Pertamina berhasil mencapai pelipat-gandaan hasil produksi dan memperluas jaringan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan asing. Bank-bank lokal dan luar negeri pun semakin yakin untuk memberikan bantuan pinjaman kepada Pertamina di bawah kepemimpinannya. Ada delapan perusahaan asing yang bersaing untuk menjadi rekan Pertamina. "Partner yang kami inginkan tidak hanya sekedar memiliki kapasitas keuangan dan teknologi tetapi juga empati untuk menolong kami menjadi pemain kelas dunia."