Predikat sebagai kota terjorok ketiga di dunia disematkan kepada kota dengan populasi penduduk mencapai 10 juta lantaran beberapa indikator, yakni kualitas air tanah, udara, dan tata ruang yang buruk. Menurut Berry Nahdian Furqon, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, pencemaran lingkungan di Jakarta sudah berada pada level memprihatinkan. Faktanya, pencemaran udara saja tercatat 70 persen berasal dari kendaraan bermotor dari total 9.993 ribu lebih kendaraan yang beroperasi di ibukota. Sedangkan dari pembuangan sampah, 28 persen sampah terbuang ke selokan dari total 27.966 meter kubik, atau setara dengan 6.000 ton per harinya.
DKI Jakarta sebagai ibukota Negara Indonesia dengan luas wilayah lebih kurang 650 kilometer persegi dengan jumlah penduduk mencapai 10 juta, dewasa ini kerap mengalami permasalahan lingkungan yang rumit, baik ditinjau dari segi fisik maupun non-fisik. Permasalahan fisik seperti bangunan-bangunan yang tak terkendali telah menciptakan "hutan beton."
Jakarta, sebagai pusat pemerintahan sejatinya menjadi teladan percontohan bagi kota-kota lain di tanah air, terutama dalam hal kebersihan lingkungan. Bagaimana tidak, kebersihan menjadi salah satu tolok ukur vital suatu bangsa oleh bangsa lain terhadap cerminan karakter masyarakat yang ada di dalamnya. Bila suatu kota dicap jorok, maka asumsi yang muncul adalah "kota itu penduduknya jorok." Ini tentu mengurangi ketertarikan warga asing untuk berwisata ke negeri ini jika mengetahui ibukotanya saja mendapatkan predikat seperti ini.
Permasalahan lingkungan lainnya yang tak luput dari sorotan adalah makin meningkatnya jumlah penduduk dengan aktivitas beragam, yang di satu sisi berdampak pada peningkatan produksi limbah, dan di lain pihak mengurangi keberadaan ruang terbuka hijau yang notabene memiliki fungsi ekologis sebagai pengendali polusi dan penghasil oksigen, daerah resapan air yang dapat mengurangi genangan air atau banjir saat hujan.
Ranking tiga besar sebagai kota dengan sanitasi dan kebersihan lingkungan terburuk menjadi pekerjaan rumah yang tak mudah bagi pemerintah ke depannya.
Menurut Ubaidillah, Direktur Eksekutif WALHI daerah Jakarta, persoalan pencemaran kota bukanlah semata-mata kurangnya kesadaran warga untuk menerapkan pola hidup sehat. Menurutnya, pemerintah seharusnya memaksimalkan sebuah kebijakan yang sudah ada demi optimalisasi proteksi terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan kota.
"Saya pikir, kebijakan memang selalu dibuat kerangkanya. Tetapi, implementasinya ini yang lemah dan tidak tegas. Ke depan, pemerintah harus lebih berani atasi ini," tandasnya.
Disinilah perlunya peran pemerintah untuk menjadi penggerak aktif bagi warganya. Di kalangan masyarakat sendiri, rasanya terbagi dua. Kesadaran menjaga lingkungan dimiliki oleh warga yang memiliki pendidikan yang tinggi atau lebih baik. Tetapi itu masih kalah dengan lebih besar lagi warga masyarakat yang tidak menyadari hal tersebut. Sebab itu, ditunggu program-program pemerintah untuk menggalakkan lagi kesadaran lingkungan serta pengaturan sanitasi dan tata kota yang lebih baik.