Bayangkan, segelas air mineral dengan yang misalkan dengan harga Rp 500 saja menjadi naik seharga Rp 2.000. Warga yang lelah kehausan dalam antrean, terpaksa membeli dengan harga yang telah naik tiga kali lipat itu..
Sehari pasca gempa, saat warga butuh bahan bakar untuk transportasi, banyak pedagang eceran menjual bensin dengan harga tak wajar, sedangkan untuk membeli ke stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) bias antre berjam-jam. Memang di saat kebutuhan akan bahan bakar minyak mendesak, ada oknum warga yang sempat membeli besin di SPBU dengan harga wajar, tapi kemudian justru menjual lagi harga hingga Rp 40 ribu per liter. "Saya terpaksa harus beli bensin itu untuk bahan bakar sepeda motor yang akan dipakai untuk melihat saudara dan keluarga saya yang belum diketahui nasibnya pasca gempa," kata Budi warga di pesisir Pantai Tabing, Padang.
Tak hanya BBM, kenaikan harga juga terjadi pada komoditas lain bahkan beberapa pelayanan jasa dan barang yang sangat dibutuhkan masyarakat atau relawan yang datang ke Sumbar untuk membantu mencari korban yang hilang.
Harga yang naik menggila itu seperti tarif taksi yang mencapai Rp 500 ribu sekali jalan, atau kebutuhan bahan masakan seperti cabe yang naik menjadi Rp 100 ribu per kilogram. Mie instan yang juga biasanya sebagai bahan makanan praktis dan sangat dibutuhkan pada masa darurat juga mengalami lonjakan harga dari yang biasanya Rp25 ribuan per kardusnya menjadi Rp75 ribu per kardusnya.
Sikap oknum seperti ini mendapatkan kecaman dari pemerintah dan juga berbagai lembaga spiritual serta kemanusiaan. Apalagi ditambah dengan berbagai kucuran bantuan yang dikirimkan, mengapa masih harus menaikkan harga? Rasanya sangat tidak pantas untuk menaikkan harga demi keuntungan di tengah musibah.