Firdaus memaparkan, total kerugian tersebut dapat dibagi atas menjadi beberapa sektor, seperti kerugian akibat bahan bakar, kerugian waktu produktif warga, kerugian pemilik angkutan umum, dan kerugian kesehatan.
Jumlah kerugian yang paling besar adalah pada sektor kerugian bahan bakar yang bisa menghabiskan hingga Rp10,7 trilun per tahun. Kerugian bahan bakar dihitung dari banyaknya BBM yang terbuang karena kendaraan terjebak kemacetan. Sedangkan jumlah kerugian terbesar kedua adalah kerugian waktu produktif warga negara yang diperkirakan mencapai Rp9,7 triliun per tahun.
Namun, yang paling dicemaskan adalah kerugian di sektor kesehatan yaitu sebanyak Rp5,8 triliun per tahun. Kerugian kesehatan antara lain karena stres atau faktor polutan asap yang keluar saat kemacetan dan terhirup oleh warga ibukota lainnya yang sedang melintas. Sedangkan kerugian yang diderita pemilik angkutan umum bisa mencapai Rp1,9 triliun per tahun karena berkurangnya jumlah rit yang bisa ditempuh angkutan umum akibat macet. Hal tersebut, ujar Firdaus, juga merupakan ironi karena angkutan umum merupakan salah satu faktor utama yang menjadi penyebab kemacetan di ibukota. Angkutan umum menjadi penyebab macet antara lain karena perilaku sopir yang suka "mengetem" atau menunggu lama di suatu titik jalan untuk mengangkut penumpang padahal hal itu malah mengakibatkan tersendatnya arus lalu lintas.
Sementara itu, pembicara lainnya, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Prof Dr Umar Fahmi Achmadi MPH PhD mengemukakan, bidang transportasi memberikan kontribusi sekitar 80 persen dari pencemaran udara. Umar juga memaparkan, beberapa jenis bahan pencemar polusi udara dapat berdampak antara lain pada organ paru-paru (asma, bronkitis, pneunomia), kardiovaskuler, sistem syaraf, dan liver-ginjal.
Sumber : antara.co.id