Tenda biru di pinggir Jalan Dokter Rajiman dekat lampu merah Pasar Kembang dengan spanduk kuning mencolok bertuliskan Harjo Bestik besar-besar itu sekilas tampak seperti kebanyakan warung kaki lima lainnya yang bertebaran di seantero kota Solo. Tapi melihat dua orang tiada hentinya memasak dengan cekatan di samping tenda, para pelayan hilir mudik dan tamu-tamu yang antri menunggu pesanan, pasti ada sesuatu yang istimewa di sini.
Memang di sinilah salah satu tempat para penikmat makanan memanjakan lidah sepuasnya. Warung tenda kaki lima Harjo Bestik, sesuai namanya, menyediakan aneka bistik yang diolah oleh ahlinya, sehingga menghasilkan masakan yang benar-benar membelai lidah para pengunjungnya.
Susah sebetulnya mendefinisikan apa itu bistik karena dalam dunia kuliner istilah itu tidak dikenal. Masakan ini mungkin mengacu pada steak, daging sapi panggang makanan wajib para koboi di Amerika sana. Atau barangkali juga berhubungan dengan kata biefstuk, masakan kegemaran orang Belanda berbahan daging sapi dengan banyak kuah. Tapi sudahlah tak perlu kita berpusing-pusing soal ini karena kenyataannya bistik telah hadir di khasanah masak-memasak Indonesia dan memiliki penggemarnya sendiri.
Aneka Bistik
Warung kaki lima Harjo Bestik menunjukkan bagaimana sebuah masakan diadaptasi dan dikembangkan sedemikian rupa mengikuti selera lokal, khususnya lidah orang Indonesia. Jika biefstuk berbahan utama daging sapi, bistik warung ini bisa terbuat dari bahan lain, lidah sapi atau bahkan brutu dan uritan ayam.
Brutu adalah bagian belakang ayam yang banyak digemari karena rasanya yang sangat gurih, sementara uritan adalah calon telur yang masih berada di dalam perut ayam. Di tangan Bu Mujiyati, pemilik warung yang merupakan generasi ketiga Mbah Harjo, brutu dan uritan diolah menjadi bistik yang luar biasa lezatnya.
Tapi tentu saja tak hanya dua menu itu yang tersedia di sini karena ibu berusia 42 tahun itu juga menyiapkan menu-menu lain yang tak kalah menggoda lidah. Sebut saja LDG, menu favorit pelanggannya. LDG adalah singkatan lidah goyang, berbahan utama lidah sapi, bistik dadar lidah, dan bistik campur yang merupakan campuran berbagai bahan. Ada juga bistik telon, terdiri atas tiga jenis daging sesuai pilihan pelanggan.
Seporsi bistik lidah goyang terdiri atas lima potongan lidah sapi dipadu irisan kentang, wortel, selada hijau, tomat, acar timun, dan mayones atau moster. Kuah berwarna coklat yang merendam lidah dan aneka sayuran itu diramu dari tumisan mentega, bawang merah, bawang bombai, ditambah kuah kaldu ayam, kecap manis dan asin, garam, serta merica. Bayangkan betapa segarnya kuah itu!
Serupa dengan bistik goyang lidah, bistik campur disajikan dengan tambahan daging sapi cacah. Sementara itu, bistik dadar lidah adalah lidah yang terbungkus telur dadar dan direndam kuah bistik.
Penyiapan menu memerlukan waktu sekitar setengah jam karena semua dimasak serba mendadak. Ternyata itulah rahasia kelezatan warung kaki lima ini. Mujiyati dengan cekatan memperlihatkan bagaimana tumisan bumbu, potongan daging sapi dan ayam mentah dimasak bersamaan dengan kuah kaldu, bukan sudah disiapkan sebelumnya dan disimpan dalam panci. Kecuali lidah sapi yang sebelumnya sudah direbus selama empat jam hingga empuk.
Ketika sepiring hidangan disajikan, kepulan asapnya menebar harum aroma kuah bistik yang langsung merangsang pencernaan. Sekali menyendok, sukar menghentikannya karena keempukan daging maupun lidah sapi yang berpadu dengan kesegaran kuah bistiknya. Seperti adat Melayu pada umumnya saat bersantap, sebagai pendamping bistik adalah sepiring nasi putih pulen yang membuat perut terasa kenyang.
"Elek-elekan"
Meski menu favorit pengunjung adalah bistik lidah, tapi warung kaki lima yang buka dari jam 18.00 hingga tengah malam ini juga memiliki menu andalan lain, seperti risoles kuah, elek-elekan, dan bakmi. Orang tentu penasaran, apa itu elek-elekan, selain asing juga tak tertera pada daftar menu.
Menurut Mujiyati, elek-elekan adalah bonggol lidah sapi yang tidak terpakai di bistik. Awalnya, bonggol-bonggol lidah sapi itu digorengnya sendiri untuk disantap dia dan para karyawannya di sela-sela melayani tamu bersama sambal kecap atau sambal bawang ditemani nasi putih.
Mujiyati tak berani menawarkan terang-terangan karena dinilai kurang pantas disandingkan dengan menu bistik di warungnya. Suatu saat, seorang pelanggan melihat gorengan bonggol lidah sapi itu dan tertarik mencobanya. Sejak saat itu ia tak lupa memesan elek-elekan lengkap dengan sambal kecapnya. Lama-lama pelanggan lain tahu tentang elek-elekan dan turut memesannya. Kendati demikian, Mujiyati tetap tidak mau mencantumkan menu itu dalam daftar menu Harjo Bestik. Menu ‘aneh' ini hanya beredar dari mulut ke mulut.
Meski berstatus kaki lima dengan harga rakyat, antara Rp9.000 hingga Rp15.000 per porsi, tapi karena kelezatannya, warung ini berhasil menjaring pelanggan para pesohor negeri ini, dari seniman Setiawan Jodi, Guruh Soekarnoputra, Mamiek Podang, hingga politikus seperti Amien Rais, Hari Sabarno, dan Hatta Rajasa. Termasuk juga para pejabat Pemkot Surakarta yang rutin berkunjung.
Ditemani live music dari serombongan pengamen lokal dengan lagu-lagu keroncong mendayu-dayu, menyantap segarnya Bistik Jowo Mbah Harjo sungguh pengalaman tak terlupakan saat berkunjung ke Solo.
Sumber : agromedia