Pentingnya Kesehatian dalam Mendidik Anak

Parenting / 1 August 2009

Kalangan Sendiri

Pentingnya Kesehatian dalam Mendidik Anak

Lestari99 Official Writer
4056

Dalam mendidik anak, saat memberikan didikan atau hukuman (mendisiplin) anak, maka tim pendidik anak (semua yang terlibat dalam mendidik) harus memiliki sikap yang sama, sehati, termasuk ketika sedang memberikan hukuman. Suami dan isteri, orangtua dan mertua, orangtua dan kakek neneknya bahkan orangtua dengan suster atau pembantunya harus sehati.

1. Kesehatian Suami dan Isteri

Anak akan rusak jika ayahnya sedang mendisiplin, lalu anak menangis dan lari ke mamanya sambil mengatakan, "Mama, papa jahat..." lalu mamanya membela dan mengatakan kepada si anak, "Memang papamu jahat. Sini sama mama saja." Anak akan rusak jika sementara salah satu orangtua sedang mendisiplin lalu pasangannya membela anaknya saat itu juga dan memarahi pasangannya di depan anaknya. Saat anak menangis karena sedang didisiplin, jika mereka lari ke kita, kita cukup memeluknya saja dan bukan membelanya. Katakan, "Papa (atau mama) melakukan itu karena sayang sama kamu. Kalau kamu baik, pasti papa (atau mama) tidak hukum kamu." Berikan simpati, tetapi bukan pembelaan dengan menyalahkan yang sedang mendidik.

Kalau Anda berbeda prinsip, berbeda pendapat dan cara dalam mendidik anak dengan suami atau isteri Anda, maka diskusikan di kamar atau di luar rumah (di mobil dalam perjalanan misalnya), tidak di hadapan anak-anak. Perdebatkan dan bicarakan tetapi tidak di hadapan anak-anak.

2. Kesehatian Orangtua dan Opa-oma

Masalah anak, mertua, opa dan oma ini biasanya terjadi jika pasangan tinggal serumah atau satu kompleks dengan orangtua atau mertuanya. Saya menjumpai beberapa anak ‘bermasalah' karena faktor ketidaksehatian orangtua dengan opa-oma si anak.

Anak akan rusak jika ibunya memberikan aturan mengatakan, "Jangan makan es krim, nanti kamu batuk," lalu si anak datang ke omanya, dan omanya mengatakan, "Sini oma belikan es krim, mamamu itu pelit!! Sini sama oma saja!"

Sering orangtua merasa bahwa dia dulu tidak bisa mengasihi anak-anaknya karena faktor ekonomi yang kurang dan sekarang dia mau mengasihi cucu-cucunya, jangan sampai cucu-cucunya sedih dan tidak bahagia seperti anak-anaknya dulu. Bisa juga karena faktor ingin ‘menjadi berarti' bagi sang cucu di masa tuanya, dimana dia mungkin sudah tidak terlalu ‘berarti' bagi anak dan tidak bisa lagi menasehati atau mempengaruhi anak-anaknya karena mereka sudah pandai dan berhasil. Maka untuk membuat keberadaannya ‘berarti', opa-oma mengasihi cucu-cucunya.

Ini baik-baik saja, sepanjang tidak konflik dengan orangtua si anak sehingga anak akan menjadi memberontak kepada orangtuanya karena pembelaan opa-oma. Konflik bisa meluas jika orangtua si anak merasa diintervensi dan menjadi bertengkar dengan mertua atau orangtuanya (opa-oma si anak).

Bicarakan saja secara bijaksana baik langsung dengan mertua atau orangtua Anda atau melalui pasangan Anda demi kemajuan si anak. Opa oma juga harus belajar untuk menghormati otoritas orangtua terhadap anak dan tidak mencampuri terlalu jauh.

3. Kesehatian Orangtua dan Guru

Sama juga halnya di sekolah dan di sekolah minggu, orangtua dan guru harus sehati di hadapan anak-anak. Kalau ada perbedaan, diskusikan dengan guru atau laporkan tingkah laku si guru ke Kepala Sekolah, tetapi jangan ceritakan apa yang Anda lakukan kepada anak Anda. Jangan menjadi ‘jagoan' dengan ‘melabrak' gurunya, jangan jadi ‘pahlawan' untuk urusan yang semacam ini, jadilah pahlawan bagi anak-anak Anda dalam bidang lain. Jika yang ini Anda lakukan, maka anak-anak Anda tidak akan menghormati gurunya, dia tidak akan belajar menghormati otoritas di atasnya, akan memberontak di sekolah dan akhirnya pelajaran di sekolahnya tidak bisa masuk ke otaknya.

Bagi Anda para orangtua, janganlah Anda mengucapkan kata-kata negatif tentang guru anak Anda atau sekolah anak Anda, sehingga anak Anda tidak respek lagi dengan guru dan sekolahnya, dan orangtua juga yang akan rugi sendiri. Jika sudah terlalu parah, memang lebih baik dipindahkan saja ke sekolah yang lain. Jika Anda tidak bermaksud memindahkan anak Anda, maka jangan katakan, "Wah, gurumu itu tidak mengerti ilmu mendidik anak, kampungan!", "Wah, sekolahmu itu tidak bonafide!" dll.

Jika anak sudah tidak hormat dengan gurunya atau tidak suka dengan sekolahnya, pelajaran menjadi sulit diterima karena sudah tidak ada rasa respek. Sama dengan Anda jika kecewa atau tidak hormat dengan seorang ‘pendeta', maka khotbahnya tidak masuk di hati bukan? Bisa saja kita mendengarnya namun kita berkata dalam hati, "Ah, teori."

4. Kesehatian Orangtua dan Suster / Pembantu

Suatu ketika saya pulang ke rumah, dan anak saya mengadu bahwa suster memarahinya begini dan begitu. Hati saya panas, saya pikir suster ini kurang ajar juga. Ini kan anak saya, apa haknya marah-marah ke anak saya. Dia suster ya cukup jadi suster saja, ganti pakaian, mandikan anak, kasih makan, ajak main, beresin mainan, bersihkan kamar dan jangan ‘lancang' melampaui wewenang ikut-ikutan marah ke anak.

Saat itu saya bergumul dalam hati dan pikiran saya (saya tahu itulah pimpinan Roh Kudus), dan akhirnya saya peluk anak saya, saya berikan empati namun sambil berkata kepada anak saya, "Kamu pasti ada salahnya? Tidak mungkin suster marah-marah kalau kamu tidak salah." Anak saya mulai berkata, "Ya, tapi kan ‘cuma' begini begini dsb." "Itu bukan ‘cuma', itu salah. Sana, minta maaf sama suster." Bahkan sedikit saya paksa anak saya minta maaf dengan suster.

Dengan prinsip semacam itu, waktu terus berjalan, maka kamilah orangtua yang ‘menikmati' hasilnya karena anak-anak menjadi respek kepada suster (dan pembantu) sehingga kalau kami orangtua pergi, maka di rumah ada yang ‘ditakuti' atau ‘dituruti'. Jika orangtua memandang rendah pembantu atau suster sebagai ‘babu' yang harkat dan martabatnya di bawah kita, dan tidak boleh ‘memarahi' anak sekalipun anak salah, maka anak tidak akan menghormatinya.

Saya menjumpai anak-anak yang ‘menyiksa' pembantu, dengan mencubiti atau memukul dan tidak menurut sama sekali. Susternya kerepotan dan tidak tahan, pembantu atau susternya ‘silih berganti' setiap 3 maksimal 6 bulan keluar, orangtua juga yang repot. Ini banyak terjadi karena orangtua yang juga tidak menghargai pembantu sebagai ‘manusia'. Anak akan bertumbuh dengan tidak menghargai orang yang lebih tua, dengan alasan status sosial dan ekonomi. Ini memang wajar dalam masyarakat namun menurut saya tidak alkitabiah, tidak baik. Seorang pemimpin yang berhasil (seperti Tuhan Yesus) adalah yang berbelas kasihan kepada orang lemah.

Sumber : Jarot Wijanarko – Mendidik Anak
Halaman :
1

Ikuti Kami