"Silent night, holy night, all is calm, all is bright ...."
Sepotong teks lagu tersebut di atas dikenal oleh hampir setiap orang. Bahkan menurut Hanno Shilf, seorang penulis asal Jerman yang melakukan riset pengarang lagu Natal terkenal untuk film garapannya, 75% penduduk dunia mengenal lagu itu, meskipun dalam berbagai bahasa yang berbeda.
Gemerlap dan anggunkah? Seperti pohon terang di hotel berbintangkah lenggak-lenggok penyanyi top pada acara Natal di televisi dan alunan band pesta Natal di panggung? Ternyata dahulunya tidak. Bahkan ketika Joseph Mohr -- seorang pastor desa di Mariapfarr, di kawasan perbukitan Alpen, Austria -- menulis lagu itu pada tahun 1816 untuk dinyanyikan di gerejanya, pastor kepala atasannya sama sekali tidak tertarik.
Teks Bahasa Jerman
Pastor kepala itu seorang tradisionalis. Ia sebetulnya kurang setuju bila lagu-lagu berbahasa Jerman (bahasa kaum petani di perbukitan Austria) dipakai dalam upacara misa kudus. Lagu misa seharusnya berbahasa Latin.
Lagu itu untuk pertama kalinya dinyanyikan di depan publik 2 tahun kemudian, yakni tahun 1818. Saat itu pastor muda Mohr sudah berusia 26 tahun dan sudah pindah tugas ke paroki Oberndorf. Namun, lagi-lagi Mohr mengalami kesialan. Organ gereja St. Nikolas yang biasa dipakai mengiringi misa tradisional di Oberndorf, rusak digigiti tikus. Dengan izin pastor kepalanya, Mohr pun mengiringi "Stille Nacht Heilige Nacht" ciptaannya dengan gitarnya.
Tidak tercatat dalam sejarah bagaimana reaksi orang saat itu, ketika Mohr secara tak lazim menggunakan gitar dalam upacara Natal di gereja. Yang pasti, lagu Mohr yang tadinya hanya terdiri dari enam baris itu menjadi populer di wilayah Salzburg, Austria, dan sekitarnya. Sekarang lagu tersebut bahkan dikenal di seluruh dunia dalam terjemahan ratusan bahasa.
Satu-satunya teks lagu tulisan tangan Mohr baru ditemukan tahun 1955, tersimpan oleh salah satu keluarga keturunannya di Salzburg. Ditulis dalam gaya tulisan elegan, di selembar kertas di balik sebuah notasi lagu untuk perkawinan. Mohr juga membubuhkan dalam teksnya bahwa melodi lagu digubah oleh Franz Xaver Gruber, seorang organis Oberndorf, teman Mohr.
"Digadaikan" Sang Ibu
Kesan anggun dan megah itu ternyata tak sejalan dengan suasana yang mendorong inspirasi Mohr untuk mencipta lagu itu. "Stille Nacht" justru tercipta dari situasi yang pahit. Bahkan yang dinyanyikan pun, sebuah kegembiraan dalam suasana yang pahit. Yesus lahir di kandang hewan, di sebuah kandang yang sepi dan sunyi. Joseph Mohr lahir sebagai seorang anak di luar nikah, dari seorang ibu yang sehari-harinya bekerja sebagai pemintal kain dan penyulam. Ayahnya adalah seorang serdadu di Salzburg, bernama Franz Joseph Mohr.
Saat itu kelahiran anak di luar nikah adalah aib. Bahkan ibunya, Anna Schoiber, harus menerima hukuman denda sebesar sembilan florin akibat kandungan yang "melanggar hukum". Bila seorang wanita mengandung di luar nikah, ia dianggap berbuat kriminal. Hukuman denda itu terlalu besar bagi Anna Schoiber. Denda itu sama besarnya dengan penghasilan Anna selama setahun penuh sebagai pemintal atau penyulam. Tetapi demi membesarkan si kecil Joseph, maka Anna Schoiber "menggadaikan" anaknya. Si kecil Joseph pun menjadi anak angkat seorang jaksa kaya di kota Mariapfarr, Franz Joseph Wohlmuth.
Memiliki Talenta Musik
Jalan nasib baik memang tak lari dari si kecil Joseph. Sebagai seorang anak haram, menurut kebiasaan setempat yang berlaku, ia tak diizinkan belajar apa pun, bahkan untuk belajar kerajinan sekalipun. Tetapi suatu ketika, pemimpin paduan suara Katedral Salzburg, Johan Nepomuk Hiernle, mendengar Joseph menyanyi dan ia pun tertarik. Anak ini di mata Hiernle dinilai memiliki talenta musik tinggi. Tanpa ragu lagi, Joseph pun disekolahkan, dilatih musik, bahkan di kemudian hari ia menjadi seorang biarawan, pastor Katolik.
Hanya beberapa saat setelah masuk biara, frater (calon pastor) Mohr pun ditugaskan membantu pastor di paroki Mariapfarr. Kebetulan, kota ini adalah kota asal "ayahnya" yang tak menikahi ibunya. Di samping itu, kota ini juga tempat asal kakeknya. Untuk pertama kalinya, Mohr bertemu sang kakek ketika ia sudah menjadi calon pastor.
Kebiasaan di desa Mariapfarr bila Natal tiba, lagu-lagu gereja tidak hanya berbahasa Latin, tetapi juga lagu-lagu Natal berbahasa Jerman. Dari sini muncul keinginan Joseph Mohr untuk mencipta sendiri lagu Natal. Namun ketika "Stille Nacht" disodorkan pada pastor parokinya, sang pastor pun menolak.
Ternyata ketika Mohr pindah ke Oberndorf, lagu ini diterima, bahkan kemudian populer. "Stille Nacht" bahkan dibawa keluar Salzburg seabad kemudian oleh serombongan pemusik bangsa Tyrol yang biasa berkelana, The Rainers Singers. Setiap tahun, pada hari Natal, pemusik-pemusik dari keluarga Trapp itu selalu diundang ke atas pentas di berbagai kerajaan di Eropa.
"Mula-mula mereka bawakan (lagu ciptaan Mohr) di Jerman, kemudian di Rusia. Di Rusia, lagu itu sempat menarik perhatian Dubes Inggris yang kebetulan hadir. Mereka lalu membawa para pemusik itu ke Inggris. Dari Inggris, mereka melanjutkan perjalanan ke Amerika Serikat dan berpentas di sana," ungkap penulis Jerman, Hanno Schilf. Dari pentas musik keluarga Trapp itulah, lagu "Stille Nacht" mencapai popularitas dan mentradisi pada setiap perayaan Natal. Menurut Schilf pula, tujuan Joseph Mohr mencipta lagu itu bukan hanya untuk menghormati kelahiran Yesus, melainkan untuk semua anak yang lahir.
"Mohr menulis lagu untuk mereka yang tidak diperbolehkan mengikuti upacara gereja (Katolik) -- semisal mereka yang masuk Protestan, yang mengalami perceraian, atau anak-anak yang lahir di luar nikah -- pokoknya mereka yang tersisih dari masyarakatnya," ungkap peneliti Mohr, Hanno Schilf kepada Reuters.
Menurut argumen Schilf, semangat inklusif ini merupakan salah satu bukti adanya penyimpangan yang terjadi di dalam gereja -- pada suatu masa -- yakni pandangan yang "mengucilkan" kelompok orang berdasarkan (keabsahan) kelahirannya.
Bergema Sepanjang Masa
Kini, lagu Natal Joseph Mohr dikumandangkan dalam suasana yang berbeda-beda. "Ing Ratri, Dalu Adi", berkumandang di pedesaan Jawa. "Malam Kudus, Sunyi Senyap" bergema di gereja-gereja kota di berbagai pelosok Indonesia. Sementara "Silent Night, Holy Night", dinyanyikan di berbagai tempat di dunia, termasuk tempat-tempat hiburan yang sedang memperingati Natal.
Orang kini tak menghiraukan lagi bagaimana sang pencipta lagu tersebut di hari tuanya. Joseph Mohr menjalani masa tua tanpa memiliki apa-apa. Semua yang dimilikinya, sebagian besar diberikan kepada orang telantar yang membutuhkan uluran tangannya. Bahkan, untuk biaya upacara penguburan yang layak pada saat kematiannya di tahun 1848 pun hampir-hampir tidak ada.
"Ia mati seperti seekor tikus gereja," kata Hanno Schilf, menuturkan kembali berbagai catatan lama tentang pencipta lagu yang terkenal itu.
Kini setelah 180 tahun, lagu ciptaan "tikus gereja" itu pun berkumandang di seluruh dunia. Museum pun didirikan di bekas rumah tempat ia dilahirkan di Salzburg. Setiap Natal, di makamnya di Magrain pun selalu dipasangi pohon terang.
Lagu ciptaan Joseph Mohr sampai kini memang masih dikemas untuk mengucapkan selamat Natal. Di tanah air kita, hampir tidak mungkin merayakan Natal tanpa lagu Malam Kudus dan penyalaan lilin, sebab suasananya akan hambar.
Kepada Joseph Mohr, selayaknyalah umat Kristen di suluruh planet bumi ini mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas karyanya yang agung. Karya itu dibuat untuk mengenang keagungan Sang Mesias yang lahir di kandang domba Bethlehem lebih dari 20 abad silam.
Sumber : biokristi.sabda.org