Bila Anda akan melahirkan, memilih persalinan normal atau caesar? Seorang selebritas pria mencontreng pembedahan caesar saat istrinya akan melahirkan. Si calon bapak itu mengambil pilihan caesar karena ia sayang kepada istrinya. Rasa "sayang" dan tidak ingin menderita sering kali menjadi alasan. Tak mengherankan jika jumlah ibu yang menjalani caesar terus meningkat. Data di Amerika Serikat menunjukkan, sepertiga dari total ibu yang melahirkan memilih pembedahan. Di Indonesia tidak ada data khusus. Namun, yang pasti ada sebutan dokter yang gandrung caesar di samping dokter yang gemar dengan proses normal.
Dr Alessandro Ghidini, spesialis kesehatan ibu-anak di Alexandria, Vancouver, menyatakan perlu sederet pemeriksaan dan pertimbangan berbagai faktor, sehingga ibu mendapat pilihan yang terbaik saat melahirkan. Saat ini, di Prancis dan Kanada, seperti dikutip dari HealthDay News, pemeriksaan lewat ultrasonografi untuk mengukur ketebalan lapisan atau jaringan rahim sebelum menentukan pilihan proses kelahiran telah menjadi hal yang lumrah dilakukan. Dan langkah serupa juga akan diikuti kalangan medis di Amerika Serikat. Sebab, menurut Dr Emmauel Bujold, ahli obstetrik dan ginekolog dari Universitas Laval, Quebec, semakin tebal bagian tersebut, semakin kuat dan semakin kecil terjadinya kerusakan.
Apalagi sudah ada sederet studi yang memunculkan kerugian akibat persalinan caesar. Studi terbaru pada Februari 2009 dari dr H.A. Smit, pakar Belanda, menyatakan, meski kaitan proses persalinan dengan asma masih terbilang kontroversial, temuannya menyimpulkan, 79 persen anak lahir dari pembedahan berpeluang lebih tinggi mengalami asma dibanding anak-anak lahir dengan proses persalinan normal.
Kaitan caesar dengan asma atau alergi memang sudah beberapa kali didengungkan. Sebenarnya gangguan kesehatan ini berpangkal pada rendahnya sistem kekebalan tubuh. Sewaktu berkunjung ke Jakarta beberapa waktu lalu, Profesor Bengt Bjorksten pun menegaskan kaitan imunitas dan penyakit terkait bakteri baik serta proses persalinan. Ahli kesehatan anak dan pencegahan alergi ini menyebutkan, penyakit yang berhubungan dengan kekebalan tubuh biasanya berupa alergi yang dipicu oleh alergen, gangguan lambung yang dipengaruhi kehadiran mikrobiota dalam saluran pencernaan yang minim dan autoimun yang disebabkan adanya antigen dalam tubuh.
Bjorksten menyatakan ada banyak pemicu sejumlah problem kesehatan tersebut, sehingga kehadirannya semakin marak di berbagai kota besar seperti Jakarta. Misalnya, lingkungan yang penuh polusi, gaya hidup modern yang membuat orang memilih menu siap saji, dan tidak ada santapan dengan nutrisi yang baik karena salah dalam pemilihan pola makan. Perubahan ini berpengaruh juga terhadap bayi yang dilahirkannya.
Ia menyatakan mikrobiota yang dimiliki bayi-bayi yang lahir sekarang ini berbeda dengan bayi yang lahir pada puluhan tahun lalu. Padahal, kehadiran mikrobiota dalam saluran pencernaan tersebut terkait dengan kekebalan sistem imun. Kehadiran mikrobiota dalam saluran pencernaan akan merangsang sistem kekebalan tubuh yang lebih baik.
Karena bayi belum "berpengalaman", kehadiran mikrobiota itu dirangsang banyak hal. "Umumnya sangat dipengaruhi saat ibu mengandung selama sembilan bulan dan pada saat pemberian air susu ibu (ASI)," Bjorksten menjelaskan seraya menambahkan, ASI mengandung bakteri yang baik untuk bayi yang memancing kehadiran mikrobiota dalam saluran pencernaan. Namun, ia menegaskan, mikrobiota itu ditemukan dalam jumlah tidak memadai ketika seorang ibu menjalani persalinan caesar, melahirkan sebelum waktunya, menjalani pengobatan dengan antibiotik.
Pada persalinan normal, bayi keluar melalui perineum dan vagina, di mana ditemukan kolonisasi mikrobiota dan langsung menempel pada bayi. Sedangkan pada persalinan caesar, bayi dilahirkan dalam kondisi steril, sehingga mikrobiota yang diperlukan pun tidak didapat dari ibunya. Karena itu, Dr Bianca-Maria, Regional Medical Advisor untuk Asia Tenggara dan kawasan Pasifik Nestle Suisse, menyatakan karena itulah ibu yang melahirkan dengan persalinan caesar harus memberi ASI eksklusif selama enam bulan untuk mendongkrak kehadiran jumlah mikrobiota dalam saluran pencernaan.
Minimnya mikrobiota dalam saluran pencernaan bayi dan daya tahan tubuh rendah mengakibatkan bayi lebih mudah mengalami infeksi, alergi, dan penyakit lain yang terkait dengan kekebalan tubuh. "Khususnya pada tahun pertama kehidupannya," ujar Bjorksten. Pakar dari Institut Karolinska, Stockholm, Swedia, ini menjelaskan, kehadiran mikrobiota itu bisa didongkrak dengan asupan probiotik alias bakteri baik. Jenis bakteri ini yang umumnya ada dalam tubuh adalah bifidobakteria dan laktobasilus. Kehadiran probiotik ini, kata pakar yang hadir sebagai pembicara dalam simposium yang digelar Nestle ini, bisa menurunkan kejadian diare karena infeksi, diare karena asupan antibiotik, kolik pada bayi, serta intoleransi laktosa dan enterokolitis.
Profesor Agus Firmansyah, Kepala Divisi Gastrohepataologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pun menyatakan asupan probiotik boleh untuk anak dan tergolong aman. Di Asia, kasus intoleransi laktosa lebih tinggi daripada di Barat. Dan asupan probiotik bisa menurunkan kejadian ini. Beberapa uji klinis pun menunjukkan, penggunaan jenis probiotik memberi efek sedang untuk mengatasi eksim pada bayi. Bjorksen pun menambahkan, ada efek perlindungan signifikan dari probiotik untuk pencegahan timbulnya atopik dermatitis.
Ketika Tuhan menciptakan seorang wanita untuk melahirkan, Dia telah menciptakannya sempurna sesuai dengan fungsinya. Melahirkan normal pun memiliki keuntungan tersendiri dibandingkan bila memilih persalinan normal. Jadi, kenapa repot?
Sumber : tempointeraktif