Secara umum, kita mengenal tiga teknik atau cara pemasakan bahan makanan. Pertama melalui pemanasan kering, yakni memanggang dan membakar. Kedua melalui pemanasan basah seperti merebus dan mengukus. Ketiga memasak dengan menggunakan minyak seperti menggoreng atau menumis.
Pengolahan dengan cara membakar yang kini marak menjadi jualan para pebisnis kuliner, sejatinya sudah lama berkembang. Proses pembakaran akan membuat makanan mengalami perubahan kimiawi ini tentu bisa memberi aroma, penampilan, dan rasa berbeda atas makanan. Alhasil, Bisa menjadi penggugah selera bagi konsumen.
Selain itu, tak sedikit yang percaya kalau proses pembakaran membuat makanan menjadi lebih sehat dan lebih aman ketimbang memasak dengan minyak. Dengan proses pembakaran, mikroba atau racun yang mungkin terkandung dalam bahan makanan bisa mati.
Sayangnya, proses pembakaran dengan suhu tinggi juga menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas kandungan gizi bahan makanan. Pasalnya, seiring proses pemanasan, akan terjadi pemecahan kandungan karbohidrat, lemak, dan protein.
Khusus untuk protein, beberapa kandungan asam aminonya bahkan akan hilang dalam proses pembakaran. Penurunan nilai biologis protein tersebut sekitar 6%-9%.
Proses pembakaran juga bisa menyebabkan kandungan vitamin makanan berkurang. Soalnya, ada beberapa vitamin tak tahan suhu tinggi seperti kandungan vitamin B1 yang bisa hilang sampai 70% dan B12 yang hilang sampai 100%.
Oleh karena itu, di negara-negara Barat, orang banyak membakar bahan makanan hingga setengah mentah (rare) atau setengah matang (medium) dan menghindari matang sepenuhnya (well done) demi mengantisipasi kerugian proses pembakaran tersebut.
Sementara di Indonesia, banyakan orang lebih menyukai pembakaran benar-benar matang demi kenikmatan. Padahal selain hilangnya berbagai nutrisi tadi, rasa nikmat pada makanan yang dibakar matang benar bisa mendorong orang makan berlebihan hingga kegemukan.
Sumber : kompas