Tiap hari ibu ke kantor, sementara ayah lebih banyak di rumah. Anak-anak pun diasuh ayah. Dedikasi sebagai ayah?
Mantan karyawan BUMN, sebut saja Ardi, lebih punya banyak waktu untuk mengasuh dan merawat si sulung (6 tahun) dan si bungsu (4 tahun) di rumah dibanding istrinya. Sejak 3,5 tahun lalu, ia memutuskan pensiun dini dan mulai mewujudkan apa yang dicita-citakannya selama ini: menulis buku. Ardi memang berminat dan punya bakat menulis.
Situasi ini memungkinkan Ardi lebih leluasa mengawasi si kecil di rumah. Sementara sang istri, yang menduduki jabatan penting dan punya prospek cerah di sebuah perusahaan swasta, tetap aktif bekerja. Walau ada pembantu, Ardi tetap yang lebih banyak memegang anak-anaknya. "Pembantu ‘kan cuma membantu," ujar Ardi.
Pandangan miring lingkungan
Keputusan Ardi bisa jadi kurang lazim di masyarakat kita, bahkan juga di negara maju; sekalipun sejak beberapa dekade wacana house husband mencuat. Yang biasanya menjadi dasar keputusan ayah untuk tinggal di rumah adalah kepedulian ayah akan pengasuhan dan perawatan anak serta kompromi dengan pasangan. Misalnya, karena prospek karier dan pendapatan istri yang dapat mencukupi kebutuhan keluarga.
Bagi Ardi, tantangan menjadi ayah rumah tangga dengan aktivitas yang lazimnya dikerjakan para ibu tidak lebih berat dibandingkan stigma lingkungan. Keterampilan rumah tangga mudah dipelajarinya dalam waktu singkat, tetapi menghalau pandangan aneh sekeliling ketika ia sibuk berbelanja dan mengantar-jemput anak-anaknya, diakuinya cukup menguras energi dan perasaan.
Dalam kasus Ardi, ia beruntung memperoleh dukungan dari pasangan, anak-anak dan keluarga. Teman-teman dekat dan relasinya pun lambat laun mulai bisa menerima keputusan Ardi. Bahkan, para tetangganya memperbincangkan dedikasi Ardi sebagai ayah dengan nada bangga.
Cuti untuk mengasuh anak
Keputusan Ardi sebenarnya bukan hal asing untuk negara maju seperti Jerman. Erziehungsurlaub atau cuti untuk mengasuh anak diberikan kepada ibu yang punya anak-anak balita. Belakangan hak serupa diberikan pada ayah, jika ia mengajukan permohonan kepada perusahaan tempat ia bekerja.
Prosedurnya kurang-lebih sama dengan cuti mengasuh anak untuk ibu, yaitu diajukan empat minggu sebelumnya. Biasanya dimulai sejak anak lahir. Lamanya maksimal delapan tahun, tergantung kebutuhan ayah atau ibu. Selama cuti, ayah atau ibu dapat mengerjakan tugas kantor secara paruh waktu. Hak cuti mengasuh anak yang cukup lama ini diberikan atas pertimbangan bahwa hingga usia sekolah, anak-anak butuh bimbingan dan dampingan orang tua.
Kondisi lain, biaya menyewa tenaga pengasuh cukup tinggi, meskipun kini tersedia secara luas tempat penitipan anak, atau ibu asuh (ibu yang mengasuh selama orang tua bekerja). Di samping itu, semakin berkembangnya lapangan kerja untuk perempuan, yang notabene juga ibu, tak dapat dipungkiri berpengaruh pada pertimbangan keluarga muda.
Menerapkan cuti untuk mengasuh anak dengan mengopi bulat-bulat apa yang dilakukan para ayah di negara maju tidaklah mungkin. Tentu perlu pertimbangan tertentu, misalnya, dalam hal pemenuhan biaya hidup. Namun motivasi dan semangat untuk memperjuangkan hak anak agar mendapat pendidikan dan asuhan terbaik dari orang tua, baik ayah atau ibu, patut diacungi jempol. Betapa tidak, perlu keberanian ayah untuk menjalankan peran sebagai "ayah rumah tangga".
Sumber : ayahbunda