Hal itu terungkap dalam sidang kelompok pendidikan Kongres Kebudayaan Indonesia 2008 di Hotel Salak. Diskusi yang berpusat pada tema "Kebudayaan untuk Kemajuan dan Perdamaian Menuju Kesejahteraan" menghadirkan pembicara pakar pendidikan Prof HAR Tilaar, Prof Soedijarto, dan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat. Hadir pula para penggiat pendidikan, yakni ibu guru kembar Rossy dan Rian dari Sekolah Darurat Kartini serta Direktur Yayasan Sokola Rimba Butet Manurung.
Soedijarto mengatakan, belum mantapnya sistem politik, ekonomi nasional, rendahnya produktivitas, dan etos kerja nasional karena belum tertanamnya dalam diri warga negara nilai-nilai budaya modern yang diperlukan untuk mendukung kehidupan bernegara dan berbangsa.
"Pendidikan gagal menyiapkan generasi muda yang berkemampuan tinggi dan memiliki nilai-nilai budaya yang diperlukan bagi kehidupan negara Indonesia yang modern," ujarnya.
Untuk mewujudkan bangsa yang cerdas dan maju kebudayaan nasionalnya, sekolah sebagai perwujudan sistem pendidikan nasional harus berperan sebagai pusat pembudayaan.
Hal senada diungkapkan HAR Tilaar. Kebudayaan merupakan konstruksi sosial dan salah satunya melalui pendidikan.
"Tetapi, pendidikan saat ini hanya menekankan the culture of survival, belum the culture of liberation, yakni pendidikan untuk memberdayakan dan memerdekakan. Ini terlihat, antara lain, dari terlalu besarnya penekanan terhadap aspek kognitif, seperti terlihat dalam penyelenggaraan ujian nasional dan olimpiade- olimpiade," ujar HAR Tilaar.
Tingkatkan peradaban
Dalam kesempatan yang sama, Komaruddin Hidayat mengungkapkan, pendidikan merupakan upaya sadar untuk mengubah kebudayaan masyarakat sehingga meningkatkan peradaban. "Pendidikan masuk ke ranah kebudayaan dan tidak terhenti pada ranah kelas serta Departemen Pendidikan Nasional," katanya.
Dia berpandangan, pendidikan kewarganegaraan menjadi sangat penting. Dalam konteks Indonesia, pendidikan kewarganegaraan itu berisi, antara lain, mengenai pluralisme, yakni sikap menghargai keragaman, pembelajaran kolaboratif, dan kreativitas. Pendidikan itu mengajarkan nilai-nilai kewarganegaraan dalam kerangka identitas nasional.
"Tanpa pendidikan kewarganegaraan yang tepat, akan lahir masyarakat egois. Pluralisme bukan anugerah, justru menjadi sumber konflik," ujarnya.