Ketika Tuhan Bertanya Kepada Adam

Marriage / 30 September 2008

Kalangan Sendiri

Ketika Tuhan Bertanya Kepada Adam

Puji Astuti Official Writer
9146

Keengganan untuk memikul tanggung jawab adalah masalah yang sangat lazim dalam dunia modern. Di Indonesia akan Anda banyak jumpai dimana para istri bersusah payah menjadi tulang punggung keluarga, pembuat keputusan, dan juga mengasuh anak-anaknya sekalipun sang suami masih ada disisinya. Psikologi populer membangun pola pikir bahwa setiap orang adalah korban, sehingga ketika sebuah kesalahan terjadi, maka itu karena lingkungan kita, atau karena masa lalu dimana sewaktu kecil kita dianiaya, atau kita terbuang secara sosial, sehingga banyak orang mencari pembenaran dan dalih untuk melemparkan tanggung jawab.

Namun sama seperti sewaktu manusia masih di taman Eden, demikian Tuhan juga berlaku kepada pernikahan-pernikahan yang berada ‘diluar taman' saat ini. Dia turun dari tahta-Nya dan berjalan-jalan ke bumi ini serta mencari Adam, "Dimanakah engkau."

Tuhan datang kepada Adam sebagai kepala keluarga dengan penuh kasih. Dia bertanya dimanakah keberadaan Adam dan Hawa bukan karena Dia tidak tahu dimana mereka berada. Tuhan sudah tahu dimana mereka berada. Maksud pertanyaannya adalah untuk membuat Adam mengakui dosanya dan memikul tanggung jawab atas perbuatannya.

Sama seperti Tuhan, Adampun tahu maksud pertanyaan Tuhan. Jika tidak tentu Adam hanya akan menjawab, "Aku ada dibalik semak ini Tuhan." Tetapi inilah jawab Adam saat itu (Kejadian 3:10), "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi."

Yang dilakukan Adam pertama kali adalah memberikan alasan. Selanjutnya ia menyalahkan Hawa. Melihat hal itu, Hawapun mengikuti perbuatan suaminya, mencari alasan dan menyalahkan ular. Akhirnya, tidak ada sebuah solusipun dari yang mereka lakukan. Yang mereka dapatkan hanyalah keterpisahan dengan Tuhan, dan retaknya hubungan suami istri.

Dari hal ini ada beberapa hal yang bisa dipelajari:

  1. Jika sebuah keluarga diperhadapkan pada pertanggungan jawab dihadapan Tuhan, yang Dia cari adalah suami sebagai kepala keluarga. Sama seperti Kristus ditetapkan menjadi kepala gereja, demikian juga pria menjadi kepala atas keluarganya (Efesus 5:23).
  2. Yang Tuhan inginkan adalah sebuah pengakuan, bukan tentang benar dan salah tapi mengenai mengambil tanggung jawab (I Yohanes 1:9).
  3. Saling menyalahkan hanya akan menimbulkan retaknya suatu hubungan. Dan jika hal itu sudah terjadi, siapapun Anda, baik Anda seorang suami maupun istri, permintaan maaf dan mengakui bahwa Anda telah melakukan kesalahan dengan menyalahkannya adalah satu-satunya jalan memperbaikinya (Efesus 4:32).
  4. Jagalah kasih diantara suami istri, karena pernikahan tanpa kasih adalah budak bagi rasa takut dan perpecahan. Jika kasih Anda berdua mulai pudar, hati-hati karena iblis bisa saja menggunakan kesempatan itu untuk menghancurkan rancangan Tuhan atas keluarga Anda (I Korintus 11:18).

Pernikahan yang bahagia bukanlah sesuatu yang kebetulan, sama seperti semua kesuksesan dibidang apapun dalam kehidupan ini, sukses dalam pernikahan itu tidak otomatis. Kesuksesan itu butuh sebuah proses, untuk itu dalam sebuah pernikahan ketika menjalani proses tersebut suami istri harus tetap saling menjaga dan menopang. Waktu yang Anda jalani berdua bukanlah perjalanan yang singkat, ini bukanlah lari sprint berjarak 100 atau 200 meter. Pernikahan itu ibarat lari marathon, jadi jagalah stamina Anda. Terutama hati Anda, karena dari sanalah terpancar kehidupan.

Adam, jawablah dengan benar seruan Bapa. Jadilah pria sejati, yang membawa mandat kerajaan Allah di bumi ini. Ambillah tanggung jawab itu, dan selamatkan keluargamu.

Sumber : The Purpose and Power of Love & Marriage, Myles Munroe
Halaman :
1

Ikuti Kami