Ayah, Engkau Bisa Menghentikannya!

Parenting / 2 September 2008

Kalangan Sendiri

Ayah, Engkau Bisa Menghentikannya!

Purnama Sari Dewi Gultom Official Writer
6705

Perlakuan salah secara fisik yang pernah ayah alami semasa kecil memang dapat terulang kembali pada anaknya. Namun, di tangan ayah pula mata rantai itu dapat diputus.

Rasanya memang hampir tak bisa dipercaya seorang ayah berlaku demikian kasar pada buah hatinya. Namun, bisa jadi, tanpa disadari Anda mengalaminya semasa kecil. Bukan tidak mungkin pula ini terjadi pada putra-putri Anda kini. Sebagai orang yang dipercaya anak, tentu perlakuan salah ini mengganggu kehidupan si kecil. Apa saja dampak perlakukan salah secara fisik ini pada anak?

Dalih Mendidik

Kasus perlakuan salah secara fisik (physical abuse) yang dilakukan oleh orang tua, memang tak sebanyak kekerasan seksual (sexual abuse). Ini karena sedikitnya jumlah yang melapor. Tak mengherankan, karena kebanyakan orang beranggapan kekerasan fisik adalah sesuatu yang normal. Ini merupakan cara mendidik anak atau urusan rumah tangga masing-masing. Kasus baru terekspos jika jiwa melayang atau betul-betul ekstrem.

\"\"Kenyataan bahwa perlakuan salah secara fisik sering dikaitkan orang dengan cara mendidik diakui S.R. Retno Pudjiati, M.Si, psikolog perkembangan dari Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. "Kekerasan fisik yang dilakukan orang tua umumnya diawali sebagai bentuk dari hukuman," jelas Pudji, demikian panggilan akrabnya. Menurut Pudji, untuk membentuk perilaku anak, ada orang tua yang cenderung menggunakan punishment, hukuman.

"Namun, punishment itu sebenarnya tak harus fisik. Membentak atau mendiamkan juga termasuk punishment, " ungkap Pudji. Lalu, apakah menyentil atau memukul pantat anak dengan tangan dapat dikategorikan perlakukan salah secara fisik?

Pudji menegaskan, "Physical abuse berarti menyakiti korban secara fisik, baik terus-menerus atau hanya sekali, tapi dengan kemarahan yang sangat dari si pelaku. Hal ini tentu mengakibatkan luka yang dalam pada anak. Luka ini tidak melulu fisik, tetapi juga batin."

Luka anak begitu mendalam bukan hanya karena pelaku adalah orang tua, orang yang dipercaya anak, namun karena korban juga tidak dapat menghindar dari orang tua. Karena, anak dan orang tua tinggal serumah dan bertemu setiap hari! Akibatnya, anak belajar menjadi orang yang tidak berdaya atau justru konfrontatif.

Mengenai ini Pudji menyatakan, faktor usia anak saat jadi korban berpengaruh. Semakin muda usia anak ketika hal itu terjadi, ‘bekasnya' lebih mendalam dibandingkan jika ia lebih besar. Akibatnya, anak berpikir ia memang pantas mendapat hukuman.

\"\"Gambaran Pudji ini tampaknya terlihat pada Ali (39 tahun), bukan nama sebenarnya, wirausaha yang pernah mendapat hukuman fisik dari ayahnya. Ali, yang hingga kini masih mengingat hukuman fisik itu, mengatakan, "Saya memang nakal, makanya dipukul ayah." Namun, Ali tak dapat mengingat apa kenakalannya saat ia berusia 5 tahun itu, hingga sang ayah harus meninju punggung Ali.

Berdampak Jangka Panjang

Perlakuan salah secara fisik bisa berdampak lebih panjang. Selain fisik, dampak psikologis pun terlihat. Kebencian pada orang yang melukainya dapat menimbulkan trauma pada korban.

Efek lain, perasaan bahwa ia memang pantas mendapat hukuman membuat harga diri anak rendah. Akibatnya, prestasi anak di sekolah buruk. Trust, kepercayaan, yang seharusnya terbangun di masa kanak-kanak pun terpengaruh. Akibatnya, hubungan sosial dengan .teman atau lingkungan anak terganggu. "Ia jadi anak yang cenderung curiga pada lingkungan," tutur Pudji.

Meski demikian, efek ini tidaklah selalu sama pada setiap orang. Kompleksitas situasi yang menyebabkan perlakukan salah secara fisik yang dilakukan ayah dapat menjadi salah satu faktor penentu selain usia anak. Ada yang karena ketidakmampuannya mempercayai orang lain menghambat si kecil menjalin hubungan personal. Mimpi buruk, kecemasan, depresi, kecanduan obat-obatan, masalah-masalah di sekolah dan pekerjaan adalah beberapa dampak jangka panjang yang dapat terjadi.

\"\"Beno (35 tahun), bukan nama sesungguhnya, karyawan swasta yang mendapat perlakukan salah secara fisik oleh ayahnya sewaktu remaja mungkin salah satu dari ayah yang merasakan dampak panjang kekerasan itu pada fisiknya. Meski ia baru saja menyadari bahwa pusing dan sakit kepala yang sangat terasa dan sering terdengar dengungan di telinganya, mulai terjadi setelah ayahnya kerap memukulnya dengan alat seperti ikat pinggang. Sebelumnya, ayah seorang putri berusia 3 tahun ini hanya mendapat peringatan dari sang ayah dengan menggunakan tangan.

"Tapi ya itu, karena saya memang bandel sih. Waktu itu saya mencuri uang ayah saya. Kalau tidak disabet begitu, saya bisa lebih bandel lagi," katanya. Bisa jadi sebagaimana dijelaskan Pudji, ini akibat dari sikap konfrontantif Beno yang sejak kecil sering dipukuli ayahnya. Beno melawan dengan kebandelan, yang akibatnya tentu saja munculnya amarah yang sangat besar dari ayahnya.

Korban Menjadi Pelaku?

Kerusakan emosional pada anak korban perlakuan salah secara fisik ini baru terlihat saat dewasa dan telah menjadi orang tua. Kasus-kasus yang terjadi menunjukkan bahwa pelaku perlakuan salah secara fisik ini dulunya adalah korban. Mengapa ini dapat terjadi? Bukankah korban perlakuan salah secara fisik itu tahu tidak enaknya menjadi korban?

Menanggapi hal ini Pudji mengatakan, "Belum tentu korban kemudian menjadi pelaku. Semua tergantung pada kepribadian si korban," jelasnya. Menurut Pudji, orang dengan kepribadian yang mau berubah tentu tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Selain itu, daya tahan terhadap stres juga mempengaruhi. "Tekanan hidup yang dialami ayah, seperti kehilangan pekerjaan, dapat menjadi pemicu ayah kehilangan kendali dan melakukan kekerasan fisik kembali," jelasnya.

\"\"Seringkali orang tua tidak bisa lepas dari tekanan yang ia terima, kemudian melampiaskannya pada orang yang lebih lemah, yaitu istri atau anaknya. Tekanan hidup dapat saja menjadi pemicu, meskipun pada dasarnya ia bukanlah orang yang suka menyiksa. Ingatan episodic (kejadian mencekam yang terekam kuat) akan pengalaman lampau dapat saja muncul seperti loncatan listrik. "Walaupun setelahnya ia menyesal dan minta maaf," ungkap Pudji.

Apa yang dikatakan Pudji bisa menjelaskan mengapa Ali yang pernah memukul anaknya dengan berlebihan, setelahnya sangat menyesali tindakannya. "Saya kaget, kok saya jadi seperti ayah saya," ceritanya. Padahal saat itu, anaknya yang berusia 4 tahun hanya menangis dan menolak tidur meski sudah larut malam. Untungnya, kemarahan yang membuat Ali memukul anak laki-lakinya itu hingga meninggalkan bekas kebiruan berhenti, karena istrinya langsung mengambil sang anak dan meninggalkan Ali sendiri. Memberi Ali waktu untuk menenangkan diri dan memikirkan apa yang terjadi. Kini, dua tahun setelah kejadian itu, Ali tak pernah lagi melakukannya.

Faktor kepribadian tampaknya memang dapat menjelaskan mengapa Beno tidak mengikuti cara ayahnya dalam mendidik anaknya. "Sejak sebelum menikah saya bertekad, tidak akan memperlakukan anak saya seperti ayah saya memperlakukan saya dulu."

\"\"Tekad Beno ini didukung oleh apa yang disebut Pudji dengan resilience. Sumber-sumber resilience (kemampuan untuk kembali ke keadaan semula) ini bisa dari mana saja sebagai tempat korban bergantung. Sewaktu kanak-kanak, ia dapat mengeluarkan perasaannya pada ibu atau kakeknya, misalnya. Resilience didapat Beno dengan dapat menceritakan apa saja pada ibu dan kakeknya.

Jika saat anak-anak atau remaja ia tidak menemukan sumber-sumber itu, bisa saja sumber resilience adalah istri. Atau, jika Anda tidak dapat membicarakan pengalaman itu pada siapa pun karena begitu menyakitkan, bantuan profesional dapat Anda andalkan. Seperti Ali yang langsung berkonsultasi pada psikolog begitu sadar ia seperti ayahnya. Jadi para ayah, bagaimana dengan Anda?

Efesus 6:4, Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.

Sumber : ayahbunda-online.com
Halaman :
1

Ikuti Kami