Simon, Salesman Miskin Yang Jadi Direktur

Family / 24 June 2008

Kalangan Sendiri

Simon, Salesman Miskin Yang Jadi Direktur

Puji Astuti Official Writer
13572

Kemiskinan bukanlah penghambat bagi seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam kehidupan ini. Hal ini dibuktikan oleh seseorang yang bernama Simon Adi Tan. Lahir sebagai anak ke delapan dari sembilan bersaudara, dengan mengalami kehidupan yang sulit serta berbagai himpitan ekonomi yang menerpanya,  membuat Simon menjadi pribadi yang rapuh. Waktu itu Simon masih duduk dibangku kelas 1 SD, ayahnya yang seorang penjudi meninggal dunia dengan menyisakan banyak hutang. Seminggu sesudah kematian ayahnya, sebuah peristiwa semakin membuatnya rendah diri.

"Ada seorang ibu, pemilik rumah dimana saya tinggal, datang ke rumah menggedor-gedor pintu sambil membawa golok. Ibu itu berkata, kamu orang miskin, kamu belum bayar kontrakan." Tutur Simon

Ibunya berjuang membesarkan sembilan orang anak yang masih kecil-kecil seorang diri. Saat itu kesulitan hidup benar-benar menghimpit. Ibunya berjuang menopang kehidupan keluarga hanya dengan berjualan kerupuk udang pada tetangga-tetangga. Kesulitan hidup yang dijalani keluarganya, membuat pribadi Simon menjadi pribadi yang minder dan rendah diri.

"Saat itu saya bertumbuh menjadi seorang anak remaja yang sangat minder sekali. Jangankan berbicara dengan banyak orang, berbicara dengan teman saja, saya susah untuk mengungkapkan isi hati saya."

Perasaan minder dan rendah dirinya berlanjut hingga ia dewasa, namun perjuangan hiduplah yang akhirnya menempa dirinya.

"Saya ingat waktu itu tahun 1983, ketika itu saya lulus SMA. Saya bercita-cita ingin kuliah ditempat yang bagus. Tetapi sayang sekali, pas saya lulus SMA, ternyata bisnis garmen mama saya bankrut, jadi pailit. Waduh, saya kecewa sekali. Tuhan kok seperti ini kehidupan saya, cita-cita saya gimana? Saya mengalami kehidupan saya turun kembali, kehidupan saya mulai diasah kembali. Saya harus bagaimana? Sampai saya hampir frustasi, saya tidak berani menatap masa depan saya."

Akhirnya Simon datang ke Jakarta, ke rumah tantenya. Di loteng atas, Simon menangis sejadi-jadinya mempertanyakan rencana Tuhan atas hidupnya. Tetapi sebuah ayat firman Tuhan membuatnya kuat kembali.

"Rencana Tuhan dalam kehidupan saya pasti bagus, itu yang menguatkan kehidupan saya. Masa depan saya pasti penuh pengharapan. Dan itulah yang menguatkan kehidupan saya untuk bangkit kembali."

Akhirnya Simon merintis usahanya dengan menjadi salesman kompor portable, dari rumah ke rumah. Dari hasil penjualannya, Simon mengumpulkan uang sedikit demi sedikit hingga ia berhasil kuliah dengan biaya sendiri.

Pada akhirnya perjuangan Simon tidak sia-sia. Setahap demi setahap, kesuksesan pun mulai diraihnya.

"Saya mendapat pekerjaan, tidak melamar pekerjaan. Banyak orang mengirimkan ratusan surat lamaran tetapi tidak satupun yang kembali. Tetapi saya tidak melamar satupun juga, tetapi langsung diminta untuk bekerja."

Disanalah awal Simon menunjukkan dedikasinya dalam bekerja, dan hal itu ternyata tidak percuma sama sekali.

"Memang Tuhan itu begitu luar biasa, jadi waktu itu teman-teman saya sudah ada yang bekerja selama delapan, sebelas hingga dua belas tahun, belum mendapatkan kendaraan mobil. Tetapi waktu itu saya bekerja baru empat tahun, sudah diberikan kendaraan mobil. Mungkin hal itu karena mereka melihat ketekunan saya dalam bekerja, saya sungguh-sungguh bekerja karena saya bekerja seperti untuk Tuhan bukan untuk manusia."

Buah dari perjuangan dan kerja kerasnya membuahkan hasil yang manis. Sekarang Simon memimpin sebuah perusahaan yang dibangunnya sendiri. Dan sikap mindernya pun telah hilang, berganti dengan kepercayaan diri yang luar biasa.

"Jadi memang perubahannya itu terjadi seratus delapan puluh derajat. Jadi waktu itu, ketika saya menginjak remaja, dulu saya minder. Ketemu dengan orang saja saya gemetar, tidak bisa bercerita. Tapi sekarang oleh anugrah Tuhan saya bisa berbicara didepan banyak orang."

Demikianlah penuturan Timotius Adi Tan, kakak Simon, tentang keberadaan adiknya, "Pada waktu Simon berumur 6 tahun, dan saya merasa waktu itu dia memang seorang anak yang minder. Yang tidak memiliki pengharapan dalam hidupnya. Setelah dewasa, waktu dia kelas 2 SMA hidupnya berubah, dia memiliki sikap yang positif. Saya harus akui dengan jujur bahwa dia orang yang paling rajin dan kerja keras."

"Sebagai seorang istri saya melihatnya almost perfect. Dia seorang suami yang bertanggung jawab, rajin, mengasihi istrinya, seorang yang antusias, semangat dan pekerja keras." Demikian Kim-kim memuji suaminya.

"Tuhan itu baik sekali dalam kehidupan saya. Dan ketika ada masalah apapun, ternyata itu bukan untuk menghancurkan kita, tapi itu semua untuk kebaikan kita. Itulah yang saya katakan, Dia selalu baik dalam kehidupan saya." Simon Adi Tan menutup kesaksiannya dengan sebuah senyum kekaguman kepada Tuhan. (Kisah ini sudah ditayangkan 26 Mei 2008 dalam acara Solusi di SCTV).

Sumber kesaksian :

Simon Adi Tan

Sumber : http://layartancap.com/ltcplayerv1.swf?doc=JjmVXAL0kImjXtgSBADNXjhSZAtSUN9.z4mWZ4DKXImzBACaXjr4
Halaman :
1

Ikuti Kami