Karir, Bisnis Atau Keluarga?

Kata Alkitab / 29 May 2008

Kalangan Sendiri

Karir, Bisnis Atau Keluarga?

Admin Spiritual Official Writer
7784
Hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.
 - Buku Kehidupan

"Sama sekali tidak ada penyesalan di hati saya," kata seorang mantan wanita karir kepada saya saat saya menanyakan apakah ada penyesalan setelah ia meninggalkan pekerjaannya demi mengasuh anaknya yang baru berusia lima bulan. Ketika saya tanyakan lebih lanjut, apa motivasi utama sehingga ia dengan tekad bulat mengucapkan selamat tinggal kepada karir yang telah dirintisnya sejak bertahun-tahun silam, dengan santai ia berujar, "Sekarang peran saya sudah berubah. Jadi buat apa disesali? Daripada saya di kantor tapi pikiran saya masih di rumah."

Mirip dengan kisah di atas, baru-baru ini seorang wanita karir dan suaminya mendatangi saya lalu kami berdiskusi panjang-lebar mengenai apakah sang istri harus rela melepaskan karirnya demi membantu sang suami mengembangkan bisnisnya. Setelah diskusi panjang-lebar, kami mengambil kesimpulan bahwa kehadiran sang istri di perusahaan sang suami memiliki beberapa manfaat sangat positif. Mulai dari menjaga keharmonisan keluarga (karena tidak lagi terpisah jarak), menaikkan semangat kerja sang suami hingga memungkinkan sang suami untuk lebih berkonsentrasi pada segi pemasaran. Artinya, sang istri dengan latar belakang pekerjaan selama ini akan lebih mudah mengurusi segala hal yang berhubungan dengan keuangan dan administrasi sementara sang suami bisa lebih fokus untuk menawarkan produknya kepada calon konsumen. "Sejauh ini saya memang sudah memiliki asisten di kantor, namun kurang maksimal. Saya yakin kalau istri saya ikut terlibat tentu hasilnya akan jauh lebih baik," ujar sang suami.

Artikel ini saya tulis bukan dengan tendensi mengatakan wanita tidak boleh berkarir atau berbisnis. Sama sekali tidak! Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk sejenak merenungkan kembali prioritas dalam hidup kita. Benar kata orang bijak, kalau hidup ini memang penuh dengan pilihan. Dan setiap pilihan mengandung konsekuensi tersendiri, entah kita sadari atau tidak.

Ada kisah mengenai sepasang ayah ibu yang begitu giatnya bekerja. Hampir saban hari, mereka berangkat kerja pagi-pagi ketika putri tunggalnya yang masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar sedang tidur. Alhasil, mereka hampir tidak pernah punya waktu untuk sekedar bersantap pagi dengan sang putri tercinta. Dan biasanya, mereka baru tiba di rumah sekitar pukul sembilan malam, saat sang putri sudah mulai terlelap dalam tidurnya.

Pada suatu pagi di hari minggu, sang ibu melihat gambar hasil karya anaknya itu. Dalam gambar tersebut ada gambar rumah mereka dan gambar sang putri yang sedang bermain bersama sang pembantu. Tidak ada gambar dirinya serta sang suami. Ibu bertanya kepada sang putri, "Mengapa dalam gambar tersebut tidak ada ayah dan ibu?" Dengan wajah tidak berdosa, sang putri langsung menjawab, "Habis, ayah dan ibu ngga pernah ada di rumah, sih."

Ada fenomena lucu sekaligus menyedihkan. Sering kali saya melihat orang kaya yang begitu memanjakan anak mereka dengan berbagai fasilitas dan uang. Padahal yang paling dibutuhkan oleh anak-anak mereka adalah kehadiran mereka. Kehadiran sebagai wujud kasih seringkali menjadi "obat" paling mujarab bagi jiwa mereka sekaligus benteng perlindungan saat mereka beranjak remaja. Sayangnya, ketika kasih tersebut tidak mereka dapatkan, mereka cenderung mencarinya di tempat lain yang bisa jadi akan berakibat fatal, seperti terjerumus dalam kenakalan remaja, narkoba, dsb. Ketika hal tersebut terjadi, maka tampak nyatalah kalau materi, uang, fasilitas dsb tidak ada artinya lagi. Lalu, mereka mencoba kembali merajut benang kasih yang selama ini telah menjadi begitu kusut karena tidak diperhatikan. Kasihan sekali!

Saya kaget sekaligus terheran-heran membaca pernyataan Julian Lennon, anak John Lennon, pentolan grup musik The Beatles. Sebagai anak, Julian merasa disia-siakan oleh sang ayah sejak ia berusia lima tahun. Ketika Julian berusia tiga puluh lima tahun, dalam sebuah wawancara ia memberikan komentar mengenai ayahnya, "Saya kira dia munafik. Ayah dapat berbicara mengenai damai dan kasih kepada dunia, tetapi dia tidak pernah menunjukkan hal itu kepada istri dan anaknya. Bagaimana Anda dapat berbicara mengenai damai dan kasih sementara di sisi lain keluarga Anda terpecah-belah? Tidak ada komunikasi dengan keluarga. Yang ada hanyalah perzinahan dan perceraian. Anda tentu tidak mampu melakukannya jika Anda bersikap terbuka dan jujur pada diri Anda sendiri." Sungguh ironis! Di satu sisi John Lennon tampak penuh kasih sayang melalui lagunya yang bertema perdamaian dunia (Imagine) di sisi lain dia mengalami hal yang bertolak belakang dalam keluarganya.

Suatu hari seorang teman mengirimkan saya sebuah e-mail berisi foto lembar jawaban ujian anak kelas satu sekolah dasar (SD). Tampak ada sebuah soal ujian berisi gambar seorang wanita sedang mengasuh seorang anak kecil, lalu ada pertanyaan: gambar di samping menunjukkan kasih sayang seorang... a.Pembantu. b.Ibu. c.Ayah. Percaya atau tidak, anak tersebut memberikan tanda silang pada jawaban a.Pembantu. Barangkali karena selama ini, sang anak hanya merasakan hal tersebut dari pembantu. Dia jujur dan menjawab apa adanya. Menurut saya, orang tua sama sekali tidak berhak memarahinya dalam kasus ini. Justru lembaran jawaban ini seharusnya menjadi refleksi serius bagi kedua orang tuanya.

Di sisi lain, saya banyak menemukan kisah tentang kasih sayang dari orang tua yang kemudian membantu anak berkembang menjadi insan yang mandiri. Salah satunya adalah Patricia Saerang, anggota AMFPA (Association of Mouth and Foot Painting Artists/  asosiasi para pelukis cacat yang melukis dengan kaki atau mulutnya) yang berpusat di Swiss. Dalam salah satu suratnya yang ditulis dengan menggunakan kaki kirinya, ia mengungkapkan betapa besar peranan orang tuanya. "Saya lahir di Manado tahun 1968. Tuhan tidak memberikan tangan dan kaki yang normal tapi Tuhan menganugerahi saya dengan pikiran yang tajam dan kemauan yang kuat untuk bertahan hidup dan menjadi manusia yang produktif. Dan saya beruntung mempunyai orang tua yang selalu memberikan kasih sayang dan dukungan. Karena saya tidak mempunyai tangan, saya belajar menggunakan kaki kiri untuk mengerjakan semua hal, termasuk makan dan menulis."

Pemain basket terkenal dan juga menjadi model iklan, Shaquille O'Neal pernah memberikan komentar mengenai peran orang tuanya. "Perlu banyak usaha untuk membuat saya bersemangat. Dan, tahukah Anda apa yang membuat saya bersemangat? Ketika ibu saya mengatakan bahwa ia mengasihi saya." Wow! Saya jadi teringat syair sebuah lagu, "I am shinning like a candle in the dark when you tell me that you love me."

Ya, bagaimana pun juga kasih adalah motivasi terbaik dalam setiap kehidupan. Kasih seringkali berasal dari rumah namun kebencian pun sering kali berawal dari rumah. Jika di rumah anak sungguh merasa dikasihi, ia akan lebih mudah untuk mengasihi orang lain, baik di dalam maupun di luar rumah. Sebaliknya jika di rumah anak merasakan kebencian (entah kebencian akibat hubungan yang kurang harmonis antara anak dan orang tua atau antara ayah dan ibu), biasanya anak akan punya kecenderungan membenci orang lain, baik di dalam maupun di luar rumah. Hurting people hurts people!

Menyadari bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga, saya kemudian berusaha mencari berbagai sumber untuk memperkuat peran saya sebagai suami dan ayah. Saya sangat beruntung karena pada pertengahan Mei 2007 lalu sempat berjumpa dan belajar banyak dari Dr. Tim Elmore, Presiden Growing Leaders (www.growingleaders.com), sebuah organisasi yang berkomitmen untuk mengembangkan kepemimpinan dalam diri para siswa dan pelajar. Tim juga adalah Vice President EQUIP (lembaga non-profit yang didirikan oleh guru kepemimpinan internasional, Dr. John C. Maxwell untuk memberikan pelatihan kepemimpinan di berbagai belahan dunia).

Dalam sebuah kesempatan, Tim memaparkan tentang lima bahasa kasih yang perlu diaplikasikan orang tua kepada anaknya, yaitu: kuantitas dari waktu berkualitas (meluangkan waktu bersama anak), perkataan yang meneguhkan (secara verbal mengungkapkan persetujuan orang tua), perbuatan yang melayani (melakukan sesuatu untuk anak berdasarkan kasih), hadiah yang berwujud (memberikan kepada anak sesuatu yang sangat mereka inginkan) dan sentuhan fisik (menyentuh dan memeluk mereka sebagai sebuah hadiah). Saya pernah menonton sebuah film yang mengungkapkan riset mengenai peranan sentuhan fisik dan riset tersebut membuktikan lima detik sentuhan mengungkapkan lebih banyak kasih dibandingkan lima menit perkataan.

Di bagian lain Tim juga mengajarkan mengenai kesempatan yang dapat dipakai para orang tua untuk mendidik dan menunjukkan kasih sayang kepada anak-anaknya. Tim mendasarkan hal ini pada pernyataan Prophet Moses kepada para orang tua pada jaman itu, "Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang Kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun."

Jika diperhatikan lebih lanjut sebenarnya ada empat kesempatan berharga yang selalu bisa dimanfaatkan yakni: pada saat makan, bepergian, menjelang tidur dan bangun pagi. Saat makan adalah saat duduk bersama sebagai sebuah keluarga dan pada saat itu orang tua dapat mengajarkan banyak hal karena orang tua dapat berfungsi sebagai seorang guru. Saat bepergian adalah saat orang tua dapat menjadi sahabat bagi anaknya. Suasana menjadi santai dan aman. Saat menjelang tidur biasanya terjadi percakapan paling intim dan orang tua dapat berperan sebagai seorang counselor dengan berbagi aneka kisah. Saat bangun pagi, di tengah kesibukan orang tua mempersiapkan diri untuk berangkat kerja dan anak yang barangkali akan berangkat ke sekolah, orang tua dapat menjalankan perannya sebagai coach dan cheerleader, misalnya dengan menciptakan suasana yang menyenangkan (misalnya bernyanyi hingga melakukan sesuatu yang sifatnya jenaka) atau memberikan motivasi atau mendoakan anak-anak. Jika Anda ingin mempelajari hal ini lebih lanjut, saya sangat menyarankan Anda membaca buku karangan Tim Elmore, Nurturing The Leader Within Your Child.

Diakui atau tidak, pada akhir hidup seseorang, ia biasanya ingin dikenang sebagai ayah dan ibu yang baik, saudara yang baik serta sahabat yang baik. Bukan dikenang sebagai orang hebat, punya karir yang bagus, punya harta berlimpah, dan seterusnya. Apa gunanya seseorang memiliki seluruh dunia namun kehilangan keluarganya? Tampaknya nasihat dari mentor saya Dr. John C. Maxwell patut juga kita renungkan, "Success is those closest to you love and respect you the most." Ya, sukses akan kita dapatkan ketika mereka yang paling dekat dengan kita mengasihi dan menghormati kita lebih daripada yang lain. Tidak ada salahnya jika sejenak kita meluangkan waktu untuk bertanya kepada diri kita sendiri, siapa sajakah orang-orang yang paling mengasihi dan menghormati kita?

Halaman :
1

Ikuti Kami