BLT, Proses Pemiskinan Mental Bangsa

Internasional / 20 May 2008

Kalangan Sendiri

BLT, Proses Pemiskinan Mental Bangsa

Puji Astuti Official Writer
6157
Bantuan Langsung Tunai (BLT) sudah mulai dikucurkan oleh pemerintah pada Senin (19/5). BLT tahap pertama ini akan diberika kepada 844 130 rumah tangga sasaran (RTS).

Jumlah rumah tangga sasaran itu tersebar di DKI Jakarta sebanyak 157.515, di Bandung 84.287, di Semarang 82.665, di Surabaya 121.145, di Makassar 70.160, di Medan 83.525, di Kupang 86.980, di Banjarmasin 39.346, di Padang 99.346, dan di Yogyakarta sebanyak 19.111 rumah tangga sasaran.

Sekalipun kenaikan harga BBM bersubsidi belum diresmikan, BLT sudah bergulir untuk menenangkan masyarakat miskin.

BLT bukanlah sebuah solusi untuk krisis ekonomi yang dialami masyarakat, apa lagi system kompensasi seperti ini dapat dengan mudah di selewengkan. Dengan adanya bantuan untuk keluarga miskin (gakin), juga berbagai bantuan instan seperti sewaktu dilakukan konversi minyak beberapa waktu lalu, mental bangsa mengalami penurunan drastis.

Lima atau sepuluh tahun lalu, mendapat predikat miskin mungkin adalah sesuatu yang memalukan. Namun hari-hari ini, orang berbondong-bondong memiskinkan diri demi memperoleh subsidi, sekalipun dirinya masih tergolong orang yang bisa mencukupi kebutuhan pokok keluarganya.

Secara sosiologis, menurut Budi Purnomo, seorang phisikososial menuliskan dalam harian Sinar Harapan, kemiskinan diartikan sebagai keadaan seseorang yang tidak sanggup memelihara diri sendiri sesuai taraf hidup suatu kelompok dan tidak mampu memanfaatkan potensi fisik maupun mentalnya untuk memenuhi kebutuhan minimum. Namun hari ini, kemiskinan menjadi sebuah bahan manipulasi. Bangsa ini telah kehilangan harga dirinya. Orang kehilangan rasa malu, dan daya juang karena pemerintah melakukan sebuah program tanpa mengkaji ulang dampak jangka panjang.

Penerima BLT seringkali tidak tepat sasaran, hal ini terjadi karena adanya KKN dari aparat, dengan memberikan jatah BLT itu kepada kerabat-kerabat dekatnya. Sedangkan orang-orang yang benar-benar membutuhkan, tersingkirkan dan terlupakan.

Andreas A Yewangoe bertutur dalam tulisannya tentang apa yang terjadi pada masa Nazi berkuasa. Elie Wiesel, salah seorang dari sedikit yang luput dari neraka pemusnahan total (holocaust) Hitler di Kamar Gas Auschwitch, menulis sebuah buku kecil berjudul Nacht. Ada bagian dari buku itu yang menceritakan pengalamannya ketika orang-orang Yahudi diangkut dengan kereta api tertutup ke tempat pemusnahan total mereka.

Mereka ditempatkan berdesak-desakan laksana hewan di dalam kereta yang sangat minim ventilasi. Selain hampir tidak bisa bernapas, mereka juga kehausan dan kelaparan. Sekali-sekali tentara Jerman membuka jendela kereta sekadar memasukkan udara segar, dan sesudah itu ditutup lagi.

 

Pada suatu saat, seorang tentara Nazi Jerman iseng-iseng melemparkan seketul roti ke tengah-tengah mereka. Maka terjadilah pemandangan yang mengejutkan. Didorong oleh kelaparan yang amat-sangat, mereka saling sikut, dorong-mendorong, injak-menginjak, bahkan berbunuh-bunuhan memperebutkan roti seketul itu.

Apakah yang terpikir di dalam hati kita ketika menyaksikan kejadian serupa di negeri kita justru ketika ada niat pemerintah membantu mereka yang paling miskin dengan bantuan 100 ribu rupiah per kepala? Ketika kita menyaksikan Waginem (80), Wadiman (70), dan Kasipah (80) menghembuskan napas terakhir secara mengenaskan saat antre untuk mendapatkan dana bantuan langsung tunai pada beberapa tahun lalu saat pertama kali BLT digulirkan? Atau ketika seorang Ketua RT ditikam mati oleh massa yang tidak puas dengan cara pembayaran bantuan langsung tunai?

Tentu saja pemerintah kita bukanlah seperti Nazi yang ingin menikmati penderitaan masyarakat yang telah menderita akibat kemiskinan, namun hal itu adalah sebuah kenyataan yang muncul dari sebuah sumbangan murah hati pemerintah yang kurang tepat guna.

Mungkin perlu disadari bahwa menanggulangi kemiskinan bukanlah hanya kewajiban negara, hal tersebut adalah kewajiban setiap orang yang diberi berkat kecukupan oleh Tuhan (Imamat 25:35). Membuka lapangan usaha untuk menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin, akan lebih berdampak untuk mengubah wajah kemiskinan. Sebagaimana pribahasa berkata, "Jika Anda memberi ikan kepada seseorang, Anda hanya memberinya makan satu hari saja. Jika Anda memberi seseorang kail, Anda memberinya makan seumur hidup."

Sumber : Berbagai Sumber/VM
Halaman :
1

Ikuti Kami