Fakta VS Mitos Di Balik Bermain

Parenting / 15 May 2008

Kalangan Sendiri

Fakta VS Mitos Di Balik Bermain

Fifi Official Writer
4813
Ini fakta. Kebanyakan orang tua takut kalau anaknya terlalu banyak bermain. Ada saja alasan yang diajukan para orang tua agar anaknya tidak terlalu sering bermain. Mulai 'takut anak nggak belajar, nggak dapat ranking' hingga yang paling ekstrim cemas masa depan anak suram. Aduh! Dalam sebuah seminar 'Pro-Kontra di Balik Bermain' baru-baru ini terungkap sejumlah kekhawatiran para orang tua menyangkut anak yang gemar bermain.

Hal ini, kata Prof. Dr. Sarlito W. Sarwono, Psi, salah satu pembicara, karena adanya mitos atau tahayul yang diyakini sebagian besar orang tua seperti 'Orang yang sukses harus lulusan S2' atau 'Matematika dan bahasa Inggris adalah tolok ukur kesuksesan'. "Padahal Jepang itu buruk bahasa Inggrisnya sedunia, tapi mereka sukses.

Akibat tahayul atau salah kaprah yang sudah mengakar, membuahkan dampak yang kurang menyenangkan untuk anak, misalnya anak dibatasi bermain, waktu, tempat, jenis permainan hingga teman bermain. Orang tua kerap mengatur anak harus main di mana dan atau dengan siapa. "Yang ada anak dipaksa kerja keras, mulai bikin PR, diikutkan aneka les sesuai kehendak orang tua, harus ranking di kelas, bisa bahasa Inggris sejak dini dan sebagainya," lanjut Sarlito. Padahal faktanya, lanjut Sarlito, banyak yang berijazah S1-S3 malah menganggur. Sementara yang tamatan setara SMU bukan berarti tak bisa sukses. "Bob Sadino (pengusaha sukses) hanya tamatan SMA lho," lanjut Sarlito.

Berdasarkan pengamatan orang yang sukses justru punya masa kecil yang kurang bisa dibanggakan, seperti nakal, sulit diatur, atau suka membantah. Daripada memarahi anak karena 'kenakalan' mereka, Sarlito menyarankan agar para orang tua memberi kebebasan bermain anak sesuai dengan usianya. Permainan juga diarahkan ke hal positif seperti berhitung sambil bernyanyi 'Satu-satu Aku Sayang Ibu', belajar ilmu geometri 'Topi Saya Bundar'.

http://www.jawaban.com/news//userfile/080515-main2.jpgAnak-anak usia prasekolah, TK hingga SD porsinya lebih banyak bermain. Bermain ini kebutuhan untuk mereka. Jadi jangan dirampas. Yang penting orang tua mengarahkan dan sebisa mungkin terlibat dengan mereka," ujar Sarlito. Semakin besar anak, lanjut Sarlito, maka permainan semakin terstruktur, kompleks dan ada aturan yang harus diikuti. "Ini penting agar anak-anak belajar nilai-nilai penting yang sangat berguna bagi kehidupannya kelak," pesan Sarlito.

Tak hanya anak-anak atau remaja, bahkan orang dewasa juga 'bermain' lho tanpa disadari, seperti main gitar, badminton catur atau main cinta.

Bagaimana bermain yang 'sehat'? Berikut resep Sarlito:

• Seimbang di dalam dan luar rumah
• Bermain fisik dan otak
• Permainan artifisial dan alamiah
• Main sendiri dan berkelompok
• Main bersih dan main kotor
• Bermain motorik halus dan motorik kasar

Nah, biarkan si kecil bermain, namun tetap ingatkan dia rambu-rambunya ya...

Sumber : hanyawanita
Halaman :
1

Ikuti Kami