Nenek saya, yang dibesarkan pada era dimana para wanita menikah muda dan melahirkan banyak anak, tidak bisa memahami mengapa saya belum juga berkeluarga. Saya sudah puas dengan mempunyai pekerjaan dengan gaji lumayan tinggi dan saya mempunyai teman-teman wanita Kristen. Bagi nenek saya, jika seorang wanita belum berumah tangga pada usia tertentu, pasti ada sesuatu yang salah dengan dia. Selama bertahun-tahun, saya setuju dengannya. Saat saya membaca dukungan alkitab untuk kehidupan melajang, saya merasa sedikit aneh. Jika kehidupan melajang sungguh menyenangkan seperti yang dikatakan Paulus dalam 1 Korintus 7, lalu mengapa hampir semua teman saya berkencan, mempunyai rencana untuk menikah? Dan mengapa beberapa wanita lajang yang saya tahu terlihat seperti "menderita"? Sepertinya ada pandangan umum bahwa pernikahan dan anak-anak sama dengan sukses dan melajang sama dengan gagal.
Untunglah, seiring saya bertambah dewasa, saya semakin bijaksana. Tuhan menantang pandangan saya bahwa kelayakan seseorang ditentukan berdasarkan "status"nya. Dia membuka mata saya kepada banyak cara yang menunjukkan bahwa seorang lajang dapat menjadi sukses.
Tuhan mulai dengan mengijinkan saya dekat dengan beberapa pria. Pertama dengan Richard (bukan nama yang sebenarnya), teman sekelas saya saat kuliah yang mengajak saya makan malam dan nonton, lalu mengemudikan mobil ke arah apartemennya. Saat saya menolak pergi ke tempatnya, Richard menggerutu dan dengan kasar dia mengantar saya pulang ke rumah saya. Setelah saya menangis, Tuhan dengan lembut menunjukkan bahwa saya sukses melindungi keperawanan saya. Selanjutnya saya berkencan dengan Hans. "Dia tampan, aku tahu kalian akan cocok." kata bibi saya yang mengenalkan kami berdua. Tapi ternyata tidak. Bagian terbaik dari sore itu hanya ketika kami menonton film, saat saya tidak perlu mendengar Hans terus berbicara tentang dirinya sendiri. Tuhan menunjukkan bahwa mengutamakan kecantikan atau ketampanan di dalam seseorang lebih daripada penampilan luarnya juga adalah sebuah kesuksesan.
Ketika Craig datang, nenek saya mengira doanya telah dijawab. Craig adalah seorang pria Kristen yang baik, yang tidak meminta saya untuk tidur dengannya ataupun terus berbicara tentang dirinya sendiri. Dia mencintai saya dan ingin menikahi saya. Ternyata setelah 4 bulan berkencan dengannya, saya tetap tidak memiliki perasaan sayang padanya. Saat saya menyadari bahwa saya tidak mencintai Craig, saya putus dengannya. Beberapa tahun sebelum sekarang, saya sempat berpikir, lain kali saya akan memutuskan untuk menikah dan keluar dari kehidupan sebagai lajang entah saya mencintai pria itu atau tidak. Tapi satu pelajaran yang saya dapat dari hubungan saya dengan Craig mengingatkan saya, kenyataannya saya sukses dengan memilih untuk mendengarkan hati saya daripada mengikuti kepala saya. Tuhan menunjukkan bahwa seorang Kristen yang baikpun bukan "bahan pernikahan" kecuali dia adalah pilihan Tuhan untuk menjadi pasangan saya.
Dengan kelahiran keponakan saya yang pertama, Ryan, Tuhan mulai mengoreksi kesalahpahaman saya yang lain: Seorang lajang yang sukses mungkin tidak membesarkan anak-anaknya sendiri, tapi dia bisa mempengaruhi secara positif anak-anak yang ditempatkan Tuhan dalam kehidupannya. Saya sering menghabiskan waktu bersama dengan Ryan, dan 8 tahun setelah kelahiran Ryan, saya menggendong keponakan kedua, James. Saya sering menemani mereka belajar dan bermain, melalui semua itu, saya dapat merasakan sukacita yang sama seperti yang dirasakan Yesus saat Dia berkata kepada sekumpulan orang dewasa, "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku..." (Matius 19:14). Ini adalah sebuah kesuksesan.
Tidak hanya waktu senang saja, namun mereka juga mengalami saat-saat sulit ketika Ryan terkena diabetes pada usia 13 tahun, dia harus menjalani perawatan dan pengobatan yang memisahkan dia dari teman-temannya. James pada usia 10 tahun harus melalui operasi otak, selama berbulan-bulan dia bergumul dengan sakit kepala dan juga bergumul dengan imannya, dia mempertanyakan mengapa Tuhan tidak menyembuhkannya. Saya berdoa untuk mereka seperti berdoa untuk anak-anak saya sendiri. Selama kebersamaan kami, saya mengatakan pada mereka bahwa tidak apa-apa jika laki-laki menangis dan mungkin marah kepada Tuhan, tapi mereka harus tetap mempercayaiNya dalam kondisi apapun. Mewariskan kebenaran firmanNya pada anak-anak muda, Tuhan tunjukkan sebagai tanda kesuksesan dari seorang lajang.
Semakin saya dewasa dalam usia tiga puluhan, kehidupan melajang mulai terasa nyaman. Saya bersyukur untuk teman-teman lajang lain yang Tuhan bawa dalam hidup saya. Mereka bahagia karena mereka melakukan sesuatu dalam hidup mereka. Mereka menggunakan karunia dan potensi mereka dan meraih lebih dari apa yang mereka punyai (Matius 25:14-23). Investasi ini adalah sebuah kesuksesan menurut Yesus. Beberapa tahun lalu saya menginvestasikan kemampuan menulis saya dengan membuat sendiri kartu-kartu ucapan. Setiap bulan saya menulis kata-kata berdasarkan firman dan mengirimkannya untuk orang-orang yang menderita karena perceraian, kehilangan, sakit kronis, depresi, dan masalah-masalah lain. Saya mendapat kepuasan lewat menjangkau dengan talenta saya, dan orang lain mendapatkan dorongan semangat dan dukungan. Selanjutnya, karunia menulis saya berkembang dan saya menulis artikel-artikel. Saya juga membimbing penulis-penulis Kristen lain dan membantu mereka menginvestasikan talenta mereka melalui kata-kata kepada orang lain.
Saat teman saya yang telah tinggal serumah dengan saya selama 7 tahun menyarankan saya membeli rumah sendiri, saya bersemangat sekaligus takut. Sebagian diri saya bersemangat membayangkan bahwa saya akan membeli perabotan baru, tapi bagian lainnya membeku: bagaimana tentang perbaikan bagian rumah dan hal-hal lain yang memusingkan pemilik rumah? Ketakutan dan iman mendorong saya untuk menyerahkan rencana saya pada Tuhan dan mempercayaiNya seperti yang dikatakan Mazmur 37:4, "dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu."
Saat saya akhirnya menandatangani surat-surat dan tinggal dalam sebuah kondo, rumah baru saya mempunyai arti istimewa untuk saya, kesetiaan Tuhan sebagai jawaban dari ketergantungan saya kepadaNya. Dua tahun setelah itu, ada pemberhentian kerja sementara dari kantor tempat saya bekerja. Saya sempat kuatir akan bangkrut dan kehilangan kondo saya. Tapi Yeremia 29:11 kembali membuat saya yakin bahwa Tuhan mempunyai rencana untuk saya, sebuah harapan dan juga masa depan.
Bersamaan dengan saya mulai mengirimkan lamaran dan mencari lowongan pekerjaan, Tuhan memberikan damai sejahteraNya pada saya. Benar bahwa Dia mengetahui kebutuhan saya sebelum saya memintanya (Mat 6:8), Dia memimpin saya pada pekerjaan baru 3 minggu sebelum saya diberhentikan dari pekerjaan yang lama. Selama 18 tahun terakhir, Dia membimbing saya dalam karir yang sangat sesuai dengan minat dan kemampuan saya, bukti bahwa rencanaNya adalah untuk kebaikan saya. Menempatkan iman dalam janji-janjiNya, terutama di saat-saat yang tidak menentu, membantu saya untuk menjadi semakin dewasa secara spiritual dan membangun kepercayaan saya kepadaNya. Ini adalah sebuah kesuksesan di mata Tuhan.
Saya menikmati kehidupan lajang saya. Tuhan telah membentuk persepsi saya tentang apa arti kesuksesan yang sesungguhnya.