Beberapa hari yang lalu saya makan siang dengan seorang teman, dan dia menceritakan satu hal yang sudah terlalu sering saya dengar. Seorang pria yang telah sering pergi dengannya hampir setiap hari, membuatkannya CD berisi lagu-lagu kompilasi jazz, mengajaknya menonton film tengah malam, dan membuatkannya pasta, pria ini, telah mematahkan harapannya (lagi) dengan pernyataan yang santai, "Aku tidak berniat untuk menjalin hubungan serius dalam waktu dekat ini." Saya mencoba menjelaskan padanya, mungkin saja pria itu menganggap dia adalah seorang wanita yang cantik dan dewasa, hanya saja masih memilih untuk tetap menjadi lajang untuk saat ini. "Tapi kami begitu cocok satu sama lain, kami sahabat dekat!"
Bukan untuk pertama kalinya saya mendengar kisah seperti ini. Beberapa teman wanita saya yang lain juga pernah terjebak dalam keadaan yang membuat frustasi ini. Setelah menghabiskan berbulan-bulan mengobrol di malam hari, makan siang bersama, dan juga sms-sms, mereka harus menerima kenyataan yang menyedihkan, bahwa pria itu sebenarnya tidak berniat mengubah atau meningkatkan hubungan pertemanan mereka ke hubungan pacaran atau pernikahan.
Saya memutuskan untuk bertanya tentang hal ini kepada seorang teman pria saya, Brad, yang berpenampilan cakap dan mempunyai daya tarik yang pernah membuat beberapa wanita terlalu berharap, sehingga dia dijuluki heartbreaker.
"Apakah menurutmu salah jika seorang pria mengajak pergi seorang wanita berdua saja, padahal dia tidak berniat untuk menjalin hubungan yang serius dengan wanita itu?" saya bertanya.
"Aku pikir..." dia berkata, "jika seorang wanita menginginkan sesuatu yang lebih, dan jika memang itulah yang terjadi, dia seharusnya bisa melihatnya..."
"Tapi tidakkah kamu berpikir bahwa mengajaknya pergi dan menghabiskan waktu dengannya mendorong timbulnya pemikiran dan harapan itu?"
"Tapi wanita itulah yang memilih untuk melihat dan mengartikannya sebagai perlakuan khusus," jawabnya sambil mengedikkan bahu.
"Apakah kamu mengetahui kapan seorang wanita tertarik kepadamu?"
"Biasanya begitu..."
"Lalu mengapa kamu meneruskan tindakan yang akan membuat dia tetap mengharapkan sesuatu yang lebih?"
"Dia bebas untuk mengatakan "tidak" kapanpun dia mau. Sampai saat itu, aku menganggap dia tidak ada masalah dengan semua sikapku."
Saya mengartikan kata-kata "tidak ada masalah dengan semua itu" sama dengan dia menganggap wanita ini dapat menanggapi hal itu dengan wajar tanpa menjadi berlebihan secara emosional.
Dalam sebuah bukunya tentang relationship, Dr. Pamela Reeve membahas 3 level dari hubungan pertemanan: kenalan, rekan atau teman biasa, dan teman dekat atau sahabat dekat. Dr. Reeve meneliti bahwa pria dan wanita tidak bisa bertahan dalam suatu hubungan pertemanan yang sangat dekat tanpa salah satu atau keduanya mempunyai harapan-harapan romantis. Dia menyarankan sebaiknya pria dan wanita menghindari berteman terlalu intim atau terlalu dekat di luar hubungan pacaran dan pernikahan. "Rekan atau teman biasa, biasanya hanya menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam bersama dalam seminggu. Jika seorang pria menunjukkan sikap ingin sering bertemu atau pergi dengan seorang wanita namun mengatakan bahwa mereka hanya teman biasa, dia telah mengirimkan sinyal yang tidak jelas maknanya. Dr. Reeve menulis, "Salah satu pihak dapat menikmati keuntungan dari hubungan seperti itu dengan egois: kehangatan dan kebebasan dari kesepian, perhatian yang memberi makan ego - semua tanpa adanya komitmen. Sementara pihak lainnya merasa tertipu dan ditinggalkan dengan perasaan tidak puas dan tidak adil."
Saya sendiri telah mengamati beberapa hubungan pertemanan antara pria dan wanita yang kelihatannya mengarah ke level hubungan teman dekat. Dalam setiap kasus, pihak wanita-lah yang secara emosional membayar harganya. Mengapa? Saat seorang pria mulai menginvestasikan hatinya, dia bisa menindaklanjutinya dengan tindakan pendekatan yang lebih serius, dan jika pihak wanitanya menolak, hubungan pertemanan mereka akan berakhir atau berubah secara signifikan. Seorang wanita, bagaimanapun juga, dapat bertahan dalam hubungan yang tidak terdefinisikan semacam ini, dan tetap berharap pria itu akan merasakan hal yang sama seperti yang dia rasakan. Dia bisa terus menjalani hubungan ini dan menjadi "teman" pria itu, sambil berharap bahwa persahabatan itu akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih.
Sayangnya, meskipun si pria mengetahui bahwa si wanita tertarik padanya, seperti teman saya Brad, dia tidak merasa wajib untuk menjelaskan salah paham ini karena pada awalnya dia tidak membuat pernyataan resmi pada wanita ini bahwa dia ingin mendekatinya secara khusus. Mungkin kita bisa menggarisbawahi hal ini sebagai perbedaan komunikasi antara pria dan wanita: seorang pria mungkin tidak sadar terhadap tanda-tanda yang tidak terucapkan bahwa dia telah dimasukkan dalam kategori "calon pasangan". Apa yang pria anggap sebagai makan malam biasa, diartikan oleh wanita sebagai indikasi bahwa hubungan pertemanan mereka berkembang menjadi sesuatu yang lebih.
Pria sebaiknya mengasumsikan bahwa jika seorang wanita rela menghabiskan banyak waktunya bersama dengannya, maka wanita ini tertarik dan wanita ini sedang menginvestasikan emosinya. Di pihak lain, wanita sebaiknya lebih sedikit berasumsi. Seorang wanita sebaiknya tidak mengasumsikan bahwa teman dekat prianya (yang sering menghabiskan waktu dengannya): hanya terlalu malu untuk melakukan pendekatan, berpikir bahwa dia adalah wanita impiannya namun waktu untuk menyatakannya belum tepat, atau sedang menyangkali kehendak Tuhan akan kebersamaan mereka. Seorang wanita suka mengartikan setiap tindakan pria, namun pria kadang memanfaatkan kecenderungan ini dengan menjadikannya "teman dekat" - teman wanita yang berbagi semua keuntungan hubungan tapi tanpa komitmen.
Dalam artikelnya yang berjudul "Physical Intimacy and The Single Man", Matt Schmucker mengatakan bahwa seorang pria menipu wanita dengan cara ini ketika melalui kata-katanya atau tindakan-tindakannya, dia menjanjikan sesuatu yang lebih yang mengarah pada hubungan romantis atau bahkan pernikahan, padahal dia tidak berniat untuk menjalin hubungan serius dengan wanita tersebut. Pria dan wanita lajang dapat saling menjatuhkan dengan cara ini. Hubungan pertemanan yang intim tanpa komitmen mungkin dapat memenuhi kebutuhan jangka pendek, namun mereka memimpin kepada rasa frustasi dan patah hati. Pastinya, bagi para lajang yang sudah siap menikah, hubungan "pertemanan" seperti ini jelas-jelas membuang waktu dan energi.
Pria dan wanita yang menyadari bahwa mereka berada dalam hubungan pertemanan yang berujung jalan buntu, harus mengambil tanggung jawab. Seorang wanita bertanggung jawab untuk bersikap bijak mengenai hatinya. Salomo mengatakan, "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23). Jika seorang wanita merasakan hatinya mengharapkan seorang pria yang tidak sedang "mengejar" dia, maka tidaklah bijak untuk membiarkan perasaan-perasaan semacam itu terus ada dalam dirinya. Kidung Agung mengatakan, "jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya!"
Sekitar setahun yang lalu, saudara perempuan saya, Sarah, seorang mahasiswi, sering menerima telepon dari Nick, teman laki-lakinya yang baru saja pindah ke kampus lain. Selama percakapan mereka, Nick sering memujinya, menanyakan padanya apa yang dia cari dalam diri seorang pria, dan membicarakan rencana untuk mengajaknya pergi makan malam di sebuah restoran saat nanti dia berkunjung. Pada waktu yang sama, Nick mengatakan padanya bahwa dia adalah satu-satunya teman wanita yang enak diajak bicara, yang tidak menyalahartikan hubungan mereka. Walaupun dia ingin berada dalam pengecualian itu, Sarah merasa dirinya bingung dengan perhatian Nick, dia sadar bahwa dia mulai mengembangkan pikiran-pikiran yang romantis. Setelah mendapatkan beberapa saran, Sarah memutuskan bahwa dia perlu membatasi interaksinya dengan Nick untuk melindungi hatinya. Selama percakapan mereka berikutnya, Sarah menjelaskan bagaimana perasaannya. Nick mengakui bahwa dia tidak mempunyai niat untuk berhubungan dengannya lebih daripada sebagai teman, namun dia terkejut dan merasa tersinggung karena Sarah ingin membatasi hubungan mereka.
Sama seperti wanita perlu membuat batasan-batasan untuk menjaga hatinya dalam relationship, pria pun perlu melindungi emosi dari teman wanitanya. Paulus menginstruksikan pada Timotius untuk memperlakukan wanita-wanita muda sebagai saudara perempuan dengan penuh kemurnian. Dengan kata lain, jika seorang pria bersikap murni terhadap anda, anda tidak akan pernah bertanya-tanya apakah dia tertarik secara romantis kepada anda atau tidak. Saya telah berinteraksi dengan banyak pria yang benar-benar tulus dan bersahabat tanpa membuat saya jadi bertanya-tanya apakah mereka ingin "mendekati" saya secara khusus. Kami bisa saja menjadi teman baik, tapi dia tidak memberikan sinyal-sinyal yang salah dengan mengundang saya makan malam berdua, mengirim email pada saya setiap hari, atau sering menghabiskan waktu berdua saja. Tindakan-tindakan ini wajar saja jika pria tersebut memang tertarik secara romantis, tapi jika tidak, mereka bisa membuat seorang wanita salah paham.
Jika anda, sebagai seorang wanita, berada dalam hubungan pertemanan yang intim dengan seorang pria yang tidak tertarik kepada anda secara romantis, anda sedang menerima imitasi murahan dari cinta yang sesungguhnya. Dan dengan menghabiskan sebagian besar waktu anda dengan seorang pria yang tidak akan pernah menyematkan cincin pada jari anda, anda mungkin saja kehilangan calon pasangan yang sesungguhnya. Sebaliknya, jika sebagai seorang pria, anda sedang menghabiskan banyak waktu dengan seorang wanita, anda mungkin mau sejenak mempertimbangkan apakah hubungan anda tersebut mempunyai kesempatan untuk "naik level" kepada hubungan yang menggali kemungkinan-kemungkinan ke arah pernikahan. Jika tidak, maka katakan atau lakukan sesuatu yang membuat maksud anda jelas, bahwa anda dan dia hanya berteman biasa dan dia bebas untuk di"dekati" pria lain. Di atas semuanya itu, jika anda sedang berada dalam hubungan pertemanan yang intim dengan seseorang dari lawan jenis anda, mintalah pada Tuhan kebijaksanaan dan kepekaan.
Sumber : boundless