Hadirin yang menyaksikan langgam gerak yang biasa dipentaskan untuk menyambut tamu khusus itu memelototi mereka. Tapi ketika mereka maju hendak mendekati Presiden, beberapa anggota Pasukan Pengawal Presiden turun tangan. Mereka digiring ke luar arena. Hadirin terhenyak, demikian juga Presiden. Rupanya tarian cakalele itu memang diluar acara. Ya, ternyata tarian tersebut merupakan modus demonstrasi dari RMS (Republik Maluku Selatan).
Pengibaran bendera simbol separatisme juga terjadi di Papua. Bertepatan dengan hari peringatan Kemerdekaan TPM/OPM (Tentara Papua Merdeka/Organisasi Papua Merdeka), dua terdakwa makar Yusak Pakage dan Filep Karma mengibarkan bendera bintang kejora di menara LP Abepura, pada hari Minggu (1/7). Acara itu disaksikan pula oleh Cosmos Yual, narapidana politik kasus peristiwa berdarah di depan Universitas Cendrawasih, Abepura, Jayapura, 16 Maret 2006.
Itu adalah bagian kecil saja sinyalemen separatisme dari daerah yang merupakan kantong Kristen yang terekam oleh media sehingga menjadi konsumsi publik. Sudah pasti ada alasan mengapa terjadi itu semua, sebab bagaimana ada asap jika tidak ada api.
Tindakan makar?
Banyak pihak melihat aksi pengibaran bendera yang dilakukan itu, baik di Maluku maupun di Papua, sebagai tindakan makar. Ketua DPR Agung Laksono misalnya, menyebut aksi itu sebagai separatisme. Begitupun Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum. "Kasus ini melukai masyarakat yang selama ini setia terhadap NKRI," katanya.
Khusus dalam konteks Papua, arggota Komisi Pertahanan dari Fraksi Partai Golkar, Yorrys TH. Raweyai mengatakan bahwa hal itu bukan Separatisme. 'Apalagi saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, bendera Bintang Kejora telah dianggap sebagai lambang budaya Papua," katanya.
Anggota Komisi I DPR dari Partai Golkar Marzuki Darusman meminta agar hal itu tidak dibesar-besarican. "RMS itu lebih merupakan suatu simbol ketidakpuasan. Saya tidak yakin mereka akan memisahkan dari NKRI. Terbukti tdak ada kekerasan yang dilakukan dalam setiap aksi merela." paparnya.
Lantas bagaimana menyikapinya? Siapakah yang harus bertanggung jawab? Pertanyaan inilah yang sampai saat ini belum ada jawaban pastinya.
Tuntaskan persoalan HAM
Khususnya untuk permasalaan di Papua. Pemerintah pusat pernah membuka dialog terbuka dengan masyarakat Papua. Kurang lebih 100 tokoh masyarakat dan intelektual Papua datang dan berdialog. Di hadapan Presiden Habibie, mereka mereka menyampaikan apa yang menurut mereka merupakan praktek ketidak adilan. Mereka angkat beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi.
Berdasarkan pengungkapan fakta-fakta penindasan HAM tersebut, mereka menyampaikan keinginan untuk memisahkan secara damai dari NKRI kepada presiden Habibie, agar mereka bisa mengurus tanah air mereka sendiri. Akam tetapi presiden Habibie meminta mereka kembali dan merenungkan kembali niat mereka tersebut.
"Ampunilah para pelanggar HAM tersebut sebab mereka tidak tahu apa yang telah mereka lakukan," entah sengaja atau tidak presiden Habibie mengutip bunyi salah satu ayat Alkitab tersebut.
Enam bulan kemudian mereka datang lagi. Tapi pintu dislog telah tertutup. "Jakarta tidak mau berdialog dengan orang Papua. Kalau dengan Aceh, berdialog sampai ke Helsinski juga mau. Jadi ada apa?" Tanya Simon Patrice anggota DPR dari fraksi GOLKAR asal Papua.
Selain melakukan pendekatan kesejahteraan menurut Simon, dibutuhkan rekonsiliasi total, khusus menyangkut pelanggaran-pelanggaran HAM yang selama ini terjadi. "Bila ada keterbukaan, masyarakat bisa mengeluarkan rintihan mereka dan dengan demikian proses penyembuhan luka-luka social itu bisa dimulai," tuturnya.
Sumber : reformata