11 Juta Anak Indonesia Buta Aksara

Nasional / 28 May 2007

Kalangan Sendiri

11 Juta Anak Indonesia Buta Aksara

Puji Astuti Official Writer
6394

JAWABAN.com - Sebanyak 13 juta dari 218,7 juta penduduk Indonesia masih buta aksara. Sebagian besar atau sekitar 11 juta yang belum melek huruf itu anak-anak berusia 7 hingga 12 tahun karena belum memperoleh kesempatan bersekolah di sekolah dasar (SD). Sementara sisanya, sekitar 1,2 (11 persen) juta yang buta aksara adalah perempuan dewasa, dan lima persen atau 650.000 di antaranya adalah pria dewasa.

Bertitik tolak dari data yang ada pada Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tersebut, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Bambang Sudibyo, bertekad lebih memacu program wajib belajar. "Jika program wajib belajar gagal, pemberantasan buta aksara (PBA) juga gagal," katanya dalam acara diskusi pendidikan bertema "Percepatan Pemberantasan Buta Aksara: Antara Kewajiban dan Tuntutan Konvensi Dunia," di Yogyakarta, Jumat (25/5).

Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri acara puncak peringatan hari pendidikan nasional (Hardiknas), di Taman Siwa, Prambanan, Jawa Tengah, Sabtu (26/5). Namun, Presiden yang didampingi Ibu Ani Yudhoyono dan Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menkeu Boediono serta Mendiknas Bambang Sudibyo, hingga berita ini diturunkan pukul 11.00 belum menyampaikan pidatonya.

Lebih lanjut Mendiknas dalam diskusi sebelumnya mengatakan, begitu banyak anak yang belum melek huruf, selain karena mereka kesulitan menjangkau sekolah, juga lantaran banyak gedung sekolah yang belum memadai. Mereka, tuturnya, kebanyakan tinggal di pedalaman dan anak-anak berada di lingkungan sangat miskin.

Kendati jumlahnya kecil, kata Menteri, pemerintah bertekad mendidik mereka melalui program PBA sebagai tindak lanjut komitmen Indonesia yang juga menandatangani Piagam Dakkar pada 2000, tentang pendidikan bermutu untuk semua (education for all). "Kita menargetkan pada tahun 2008 sudah tidak ada lagi penduduk Indonesia yang buta aksara," katanya. Bila hal ini tercapai, imbuhnya, berarti upaya PBA bisa dilaksanakan enam tahun lebih cepat dibandingkan dengan hasil kesepakatan Dakar. Dalam kesepakatan Dakar, pada tahun 2015 sudah tidak ada lagi penduduk dunia yang buta aksara.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas Ace Suryadi, di dalam diskusi itu mengatakan, percepatan target PBA mesti didukung dengan kebijakan khusus. Antara lain, penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pembelajaran PBA di daerah pelosok dan transmigrasi, membelajarkan santri pada pesantren tradisional dan adat terpencil.

Menurut dia, PBA pun mempunyai dampak langsung terhadap menurunnya angka kematian bayi dan ibu melahirkan. Selain itu akan semakin meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak mereka sampai tamat pendidikan dasar. Keberhasilan PBA juga memudahkan pelaksanaan program keluarga berencana.

Disinggung masih banyaknya anak yang putus sekolah, Ace memaparkan, angka putus sekolah untuk SD kelas 1 hingga 3 mencapai 334. 000 per tahun. " Hal ini memang harus dicermati karena rawan buta aksara kembali," tuturnya.

Jadi Teladan
Sultan Hamengku Buwono X, di tempat terpisah, mengingatkan kembali pesan Ki Hajar Dewantara, terutama kepada mereka yang memimpin, agar mengedepankan sikap dan perilaku yang baik. Salah satunya adalah ketika berada di tengah-tengah yang dipimpin, dalam hal ini rakyat, harus bisa menjadi teladan.

Komentar Sekjen Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, yang dihubungi terpisah, masih tingginya angka buta aksara di kalangan anak-anak memperlihatkan belum semua anak memperoleh haknya di bidang pendidikan. Ia berharap pemerintah konsisten melaksanakan komitmennya sebagai salah penandatangan Piagam Dakar.

Direktur Yayasan Inklusi dan Pendidikan Non Diskriminasi Sylvia Djawahir, yang juga dihubungi terpisah, mendesak Depdiknas agar mengintensifkan kembali program nasional pendidikan untuk semua (PUS). Program ini, tuturnya, bisa dipandang sebagai kesiapan pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk berkomitmen bersama guna memberikan pelayanan pendidikan.

Melalui PUS, lanjutnya, pendidikan berkualitas hendaknya diberikan untuk semua anak tanpa memandang kemampuan atau kecacatan, latar belakang agama, etnis, budaya, dan ekonomi.(joe)

Sumber : suarapembaruan
Halaman :
1

Ikuti Kami